Minggu-minggu ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan beredarnya video Jokowi memarahi menterinya pada sidang paripurna kabinet di Istana Negara.
Dalam video tersebut, Jokowi meminta semua orang untuk memiliki perasaan yang sama, merasakan bahwa saat ini kita sedang merasakan krisis yang begitu berbahaya, yaitu covid-19. Jokowi merasa sampai saat ini tidak ada progres yang signifikan dalam upaya penanganan covid-19 atau corona virus. Demi menyelesaikan krisis ini bahkan beliau berani mempertaruhkan reputasi politiknya. Sungguh pertaruhan yang sangat besar.
Dalam video tersebut, terlihat gestur dan intonasi Presiden sangat tidak biasa. Cara beliau menyampaikan seakan-akan telah berada di puncak kekesalan yang terpendam. Ketika beliau sebagai kepala memiliki begitu banyak keinginan dan tuntutan untuk dilakukan tapi kaki tangan dan organ tubuh lainya seolah lumpuh tidak dapat berbuat apa-apa. Salahkah Jokowi jengkel atau marah pada menterinya? Tentu tidak. Dengan teguran keras semacam itu justru diharapkan ada perbaikan progres pada waktu berikutnya. Para menteri dan jajarannya diharapkan mampu menyerap maksud Presiden dan mengaktualisasikannya dengan baik sehingga krisis ini segera berlalu.
Namun masalahnya, ketika hal tersebut terjadi pada 18 Juni 2020 lalu dipublikasikan sepuluh hari kemudian pada tanggal 28 Juni 2020, apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan? Presiden adalah jabatan politik, setiap gerak gerik prilakunya akan dimaknai secara politik. Politik sangat kental dengan kepentingan, maka setiap prilaku pejabat politik selalu syarat akan kepentingan yang dicapai. Mungkin marahnya Jokowi bisa sedikit dilepaskan dari prasangka politik, tapi jangka waktu publikasi marahnya Jokowi tersebut tidak bisa terlepas begitu saja sejauh mungkin penulis berusaha melepaskannya.
Penulis bukan pada posisi pro atau kontra pemerintah. Jika dari sudut nalar penulis itu baik, maka penulis apresiasi, jika tidak maka penulis kritisi. Penyematan pemuji pemerintah itu cebong sementara penolak pemerintah itu kampret seharusnya sudah tidak lagi ada. Katakan baik jika itu baik, buruk jika buruk, entah berada dalam lingkar kekuasaan ataupun diluar. Dalam hal ini, penulis berkali-kali berupaya menguji nalar dan menepis prasangka politik pada publikasi tindakan Presiden tersebut dan tetap kembali pada keyakinan yang sama.
Momentum ini terlalu tepat untuk menarik dan mengalihkan perhatian publik. Entah apa yang ingin dicapai, tentu kita tidak dapat memverikasi apa sebenarnya kepentingan politik dari Istana. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu taktik jitu mengalihkan isu penting adalah dengan memunculkan isu penting lain yang tidak kalah menariknya.
Bagi yang menggeluti pencak perpolitikan pasti sangat mengetahui sekali strategi itu. Kita semua sadar betapa hebohnya ruu hip minggu lalu ketika digulirkan ke publik, dampaknya begitu besar bagi salah satu partai politik. Mungkin saja itu salah satu tujuannya atau mungkin ada tujuan lain. Penulis tidak tahu. Sekali lagi, penulis hanya beropini. Bukan tujuan penulis untuk bersu'udzon, berprasangka buruk pada Istana. Nyatanya penulis juga tidak dapat membuktikan hal tersebut berkaitan atau tidak. Tapi penulis juga tidak dapat membohongi hati nurani, menutup mata bahwa ada sesuatu dibalik marahnya Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H