Dulu banyak beredar joke dan meme tentang orang-orang yang bekerja di rumah dan punya penghasilan dikira babi ngepet. Jarang bahkan tidak pernah keluar rumah tapi bisa hidup dan beli ini itu. Dulu hanya sebatas lucu-lucuan saja. Sekarang beneran terjadi. Tetangga-tetangga usil beneran melemparkan dugaan dan fitnah itu. Walau akhirnya tidak terbukti, ya memang tidak akan terbukti. Karena nyatanya tidak hanya dengan menjadi babi ngepet bisa menghasilkan uang di rumah. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah.
Masyarakat umum mungkin baru mengenal Work From Home (WFH) ketika pandemi mulai masuk ke Indonesia. Saat kantor pemerintahan dan perusahaan swasta harus mengalami PSBB. Sebenarnya dari dulu-dulu, apalagi saat internet semakin pesat sudah banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah. Tidak harus capek-capek naik kendaraan menuju kantor. Sampai di kantor merasakan suasana yang terlalu serius, jadi sulit memancing kreatifitas.
Lucu memang masih ada orang yang menyamakan WFH dengan sejenis babi ngepet. Dugaan saya ini dilakukan oleh generasi baby boomers atau mereka yang termasuk digital immigrant. Apa itu digital immigrant? Yaitu orang-orang yang lahir dan tumbuh sebelum internet menjalar hebat. Kehidupan mereka masih akrab dengan serba analog. Memahami pekerjaan ya mentok tentang PNS atau kerja di BUMN. Yang pekerjaan pakai seragam necis dan berkantor secara fisik. Pergi pagi dan pulang petang. Itu baru kerja bagi mereka. Bagi siapa yang di rumah saja, layak disandangkan gelar pengangguran.
Internet menjadikan dunia kita borderless, tanpa batas. Terutama batasan geografis dan fisik. Orang Indonesia yang tinggal di Indonesia saja, bisa melakukan pekerjaan secara remote untuk pekerjaan di luar negeri. Tentu ini terkait pekerjaan-pekerjaan kreatif dan digital. Seperti jualan online, penulis, desainer grafis, digital marketing, programmer, dll. Pekerjaan-pekerjaan itu bisa dikerjakan di mana saja. Bisa di kantor, bisa di rumah, bisa di coffee shop, bisa di taman, bahkan juga bisa di WC sampai buang air besar. Yang bisa memahami fleksibelitas ini adalah mereka yang termasuk digital native. Yaitu orang yang lahir dan tumbuh di era internet sudah berkembang luas. Mereka sudah akrab dengan teknologi atau disebut tech savvy banget.
Pekerjaan WFH ini tidak mengedepankan jumlah jam bekerja. Walau ada juga yang tetap mewajibkan jam kerja. Tapi sebagian besar mengutamakan performa pekerjaan dengan penilaian berdasarkan Key Performance Indicator (KPI). Jam kerja boleh kapan saja. Mau dini hari saat selesai tahajud maupun malam hari saat burung hantu lagi bengong, bebas. Yang penting pekerjaannya selesai sesuai target yang sudah ditentukan. Deadline sangat diperhitungkan.
Beruntung bagi saya, yang kadang beberapa hari hanya di rumah saja, tidak dijulidin orang tua atau tentangga. Mertua tidak pernah tanya kerjaan saya apa sekarang. Yang penting anak dan cucunya tetap makan dan jalan-jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H