Mohon tunggu...
Taufik Ismed
Taufik Ismed Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat Komunikasi dan Sosial

Menulis adalah cara hadir dalam sejarah manusia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nasib Sekolah Swasta Kini Ibarat Kue Singgang

17 November 2020   22:03 Diperbarui: 17 November 2020   22:19 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kue Singgang adalah makanan tradisional Minangkabau | dok. pribadi

Kepala Sekolah TK di bawah naungan yayasan pendidikan yang saya kelola curhat. Ia mendapati ada wali murid yang mengunggah tulisan di Facebook yang isinya keluhan terhadap uang sekolah yang dibebankan tidak seimbang dengan belajar daring yang didapati anaknya. Tulisan itu ditimpali oleh mantan wali murid yang anaknya dipindahkan ke tempat lain karena tidak suka dengan sistem daring tersebut.

Mau kecewa dengan wali murid tersebut juga tidak bisa. Saya hanya bisa mencoba memahami pikiran wali murid tersebut. Tentu sang orang tua selalu ingin yang lebih baik untuk anak-anaknya. Beruntung saja wali murid tersebut tidak menyebut nama sekolah dalam tulisan di media sosialnya. Karena dampaknya bisa ke mana-mana.

Walau saya memahami dan berempati kepada wali murid tersebut, saya tetap harus menyampaikan pesan ini. Kondisi pandemi ini memang sulit. Banyak yang terbelit dan bikin sembelit. Virus mengintai di mana-mana. Ekonomi terhambat dan penghasilan merosot. Semua tak lagi seperti dulu. Dari normal harus beranjak pada ke kenormalan baru. Begitu juga dalam bidang pendidikan.

Jujur saja, saya juga termasuk orang yang memahami belajar tatap muka jauh lebih utama dibandingkan bertatap layar. Proses belajar mengajar (PBM) dilakukan secara online yang terjadi hanyalah transfer ilmu pengetahuan. Sedangkan belajar sesungguhnya adalan transfer pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. 

Dengan belajar tatap muka murid akan mendapat pengetahuan dari sang guru sekaligus merekam keteladan yang diberikan guru. Itu hilang saat daring. Tapi kita bisa apa. Memaksakan belajar tatap muka di sekolah itu ibarat kue singgang bagi pihak sekolah dan yayasan. 

Kue singgang adalah makan tradisional Minangkabau yang terbuat dari tepung beras, parutan kelapa muda dan bahan lainnya yang dibakar dari atas dan bawah. Sumber panasnya dari dua arah. Begitu jugalah sekolah dan yayasan di seluruh Indonesia, ingin melakukan PBM di sekolah tapi terancam oleh penyebaran Covid-19 dan ditambah ancaman pencabutan izin sekolah oleh Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama. Sebaliknya, memaksakan belajar daring berbalas omelan dan keluh kesah orang tua murid. Atas bawah, kiri kanan, tidak oke. Harus memikirkan pandangan dan nasib semua pihak.

Wali murid semakin sebal karena selama daring dibebankan biaya sekolah yang hampir seperti kondisi normal. Merasa tidak puas karena tak ada pertemuan fisik yang seharusnya biaya sekolah berkurang. Sebagian tugas guru di sekolah sudah mereka ambil alih mendampingi anak-anaknya belajar daring. Pemahaman ini antara benar dengan tidak benar. 

Saya bersama pengurus yayasan yang lain mencoba memahami ini. Kita benar-benar terjepit. Tapi apalah daya, sekolah swasta yang mengandalkan uang bulanan yang dibayarkan wali murid untuk membayar gaji guru dan operasional sekolah. Berbeda dengan sekolah negeri yang biayanya sudah ditangani oleh pemerintah.

Mengurangi uang bulanan yang dibayarkan wali murid berarti harus memotong gaji guru atau lebih parah dari itu, perampingan SDM guru. Atau bahasa yang lebih jujur, pemecatan sebagian guru-guru, merenggut tali napas mereka. Bagi saya itu bukan pilihan yang bijak. Para guru itu juga sedang terdesak ekonominya. 

Apalagi jika pasangannya (suami/istri) juga sudah mengalami PHK. Habis sudah, ke mana mereka hendak mengadu. Mencoba mengambil dari kas sekolah bisa menjadi solusi sementara. Hanya sementara, tidak bisa selamanya. Jika diteruskan, kas sekolah akan menipis dan tak mampu melakukan pengembangan dalam hal fisik dan nonfisik.

Pesan saya untuk kita semua, dua hal yang harus kita pertebal, yaitu rasa empati dan kesabaran. Terdengar klasik memang, tapi yang klasik kadang jadi hal yang lebih bernilai. Wali murid memahami pertimbangan yayasan, sekolah dan nasib guru. Sekolah dan yayasan juga harus mempertimbangkan kepuasan wali murid dan murid itu sendiri. Begitu juga bagi pemerintah juga harus mempertimbangan hak murid dan sekolah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun