Mohon tunggu...
Taufiq Haddad
Taufiq Haddad Mohon Tunggu... Penulis - Peminat Filsafat, Spiritualitas, Politik, Demokrasi, dan HAM

Liverpudlian, Moderat, Curiosity

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memaknai Penderitaan: Sketsa Kehidupan Ayyub as dan Victor Frankl

12 Juni 2020   06:58 Diperbarui: 15 Juni 2020   19:36 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


"I am scared of one thing in my life, to be unworthy of my sufferings."
Fyodor Dostoevsky

Mereka yang belajar agama tentu masih ingat kisah perjalanan hidup Nabi Ayyub as. Sejak kecil kita telah sering mendengar kisah hidupnya. Ketiga agama besar Abrahamik merekamnya dengan berbagai versi. Dalam Alquran misalnya nama Ayyub as disebutkan empat kali (QS 4:163, 8:84, 21:83, 38:41). Sedangkan di Taurat, dan juga Alkitab, termuat dalam kitab Ayyub (John). Ia merupakan sosok teladan, seorang Nabi yang penuh sabar. Mengalami ujian yang sangat berat dalam hidupnya: kemiskinan, penderitaan, dan kesendirian.

Mulanya Ayyub as adalah orang yang sangat kaya raya. Di zaman itu hartanya berlimpah berupa hewan ternak, dan tanah pertanian yang luas. Memiliki anak, isteri, dan keluarga yang sempurna. Ia juga seorang yang sangat menjaga kehormatan, dan seorang yang dikenal bertakwa. Menjadi panutan dan teladan di komunitasnya. Jika ia hidup di masa kita sekarang, Ayyub as bisa dikategorikan sebagai seorang sukses dan bahagia. Sebuah konstruksi budaya yang memilah kaya-miskin, sukses-gagal, bahagia-derita dengan ukuran material kepemilikan tertentu.

Ketenaran dan ketakwaannya seperti yang dikisahkan dalam beberapa teks terdengar dan diketahui setan terkutuk. Setan, sang penggoda, meremehkan ketaatan Ayyub as, menyebutnya penuh dengan kepalsuan, tidak jujur, dan pamrih. Setan menduga ketaatannya itu disebabkan keberlimpahan materi dan kelebihan lain yang mengitari kehidupan Ayyub as. Dalam kondisi lapang, biasanya orang cenderung lebih mudah mengekspresikan ketaatan, berbuat baik, dan menikmati hidup daripada saat mereka hidup dalam kesulitan. Setan berdasarkan pengalaman sepertinya berangkat dari asumsi ini. Padahal faktanya tidak demikian, Ayyub as jelas berbeda dengan kebanyakan.

Lalu sebagaimana ikrarnya ingin menggelincirkan seluruh anak-anak Adam di dunia ke jurang neraka, setan melakukan intervensi menyerang dan mengganggu kehidupan Ayyub as agar dirinya mengingkari Tuhan. Setan pun menggodanya sedemikian rupa, hingga menyebabkannya kehilangan seluruh propertinya.

Setan pula yang menyebabkan Ayyub as menderita penyakit menular yang sulit sembuh, yang membuatnya harus menyingkir jauh dari masyarakat. Konon penyakit kusta. Anak-anaknya pun satu per satu wafat, sedangkan isterinya kemudian pergi meninggalkan dirinya. Begitu hebat godaan setan, begitu berat derita yang dialami Ayyub as. Dengarkankan ungkapan Ayyub as, yang terekam dalam kitab suci. "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan" (QS 38:41).

Secara sosial saat itu Ayyub alami kondisi kebangkrutan dan kesengsaraan. Ia telah kehilangan seluruh harta, tertimpa penyakit, dan hidup dalam kesendirian. Kehidupannya berubah, mendekati ke titik nadir. Dari semula hidup diatas dalam kelapangan, bak roller-coaster, kini berada di titik terbawah, dalam kesempitan.

Namun yang menarik dan mengagumkan, tidak demikian dengan ketakwaannya. Walaupun segenap usaha telah dilakukan setan untuk menggelicirkan keimanannya, namun Ayyub as bergeming, tetap dalam ketaatan kepada Tuhan. Ia tetap menjaga diri dan perilakunya sebagai seorang yang taat kepada Tuhan.

Dengan segala peristiwa hebat yang dialaminya tersebut, keyakinan dan ketakwaannya tidak berubah. Ia bahkan tidak mengeluhkan penyakitnya, sebaliknya selalu bersyukur kepada Tuhan. Baginya hidup dalam ketaatan, dan memegang teguh kebenaran, dalam segala situasi adalah makna dari keberadaannya di muka bumi.

... "Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang" (QS 21:83).

Ia tidak terburu-buru menyimpulkan peristiwa yang dialaminya tersebut sebagai sebuah hukuman atas kelalaian dan kesalahannya. Baginya, Tuhan begitu baik, telah memberinya kelapangan di tahun kehidupan sebelumnya. Penderitaan yang ia alami ini hanyalah sesaat, relatif tak sebanding dengan masa keberlimpahan yang telah dinikmatimatinya. Karenanya sungguh tak pantas baginya mengeluh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun