Hari ini hatiku terasa sangat pilu. Aku baru saja berbicara lewat telepon dengan kawan lama, kawan seperjuangan sewaktu tinggal di asrama tunanetra dan kawan seperjuangan dalam banyak hal. Aku menerawang memikirkan apa yang bisa ku perbuat untuk membantu dia.
Telah setahun dia tidak lagi bekerja sebagai pramusaji di sebuah café di Bandung. Persis di saat istrinya mengandung anak kedua mereka, dia kehilangan pekerjaannya. Sumber penghasilan satu-satunya untuk menghidupi keluarga, untuk sekedar bertahan hidup dari hari ke hari. Di tengah kegembiraannya menantikan anggota keluarga baru, dia dan istri dirundung pilu berkepanjangan. Mereka belum tahu apa yang akan menjadi sumber mata pencaharian keluarga setelah hilangnya pekerjaan di café ini.
Dia akhhirnya berusaha apa saja untuk mengais rejeki. Dia harus mencari biaya untuk persalinan istrinya. Dia harus tertatih-tatih mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Dengan tongkat besi, dia berjalan tak tahu arah. Benturan dan resiko lain selama berjuang mencari nafkah adalah tantangan tiap detik.
Dia menjual suara di mana saja dia bisa. Dia tidak bisa menunggu panggilan profesional. Keluarganya tidak bisa menunda rasa lapar. Anaknya yang masih balita tidak bisa berpuasa susu dan tidak pula berpuasa makan. Waktu terus berjalan. Air terus mengalir. Listrik terus terpakai. Cadangan makanan terus termakan.
Dia juga menunggu pasien dengan sabar. Dia coba kembali ke profesi awalnya sebagai pemijat. Mulai dini hari hingga tengah malam tak seorang pun pasien yang datang untuk meminta jasanya. Hari terus berlalu dan bualn pun terus berganti. Tanah air seperti perlahan berubah menjadi negeri tanpa masa depan baginya dan teman lain yang seprofesi dengannya.
Dia memutar otak. Dia tak boleh menyerah dengan keadaan. Dia lapar. Dia tahan. Dia haus. Dia tahan. Dia harus mengumpulkan rejeki yang dia peroleh untuk keluarga tercintanya. Dia rela berpanasan. Dia berkorban terdampar ribuan kilometer dari tempat tinggal keluarganya untuk mengais rejeki.
Dia terpaksa berpindah-pindah dari satu gerbong ke gerbong lain. Dia terpaksa berpindah dari bus satu ke bus yang lain. Dia pasang badannya menantang resiko di jalan. Dia terjatuh, terseret, tertabrak. Dia terus bangkit untuk sejumlah uang receh dari hasil menjual suara atau menjual kerupuk.
Ini bukan kali pertama aku mendengar kisah pilu ini. Sudah berkali-kali aku mendengar realita yang sama tentang apa yang telah melanda kawan-kawan yang berprofesi sebagai pemijat. Mereka banting setir mencari sumber mata pencaharian yang lain. Mereka tidak patah semangat demi tanggung jawabnya sebagai orangtua. Mereka ingin terus menafkahi keluarga walau mereka ditempa ujian kehidupan yang berat. Realita ini telah menjadi pengalaman kolektif para pemijat tunanetra.
Namun, yang paling membuatku pilu adalah negara seperti seolah menelantarkan dia dan tunanetra pada umumnya. Pemerintah menggalakkan sekolah keterampilan pijat untuk tunanetra sejak puluhan tahun lamanya. Pemerintah terus melebarkan sayap program ini dan bahkan promosinya mampu mencuci otak para karyawan di bidang sosial untuk berpikir bahwa pijat adalah solusi satu-satunya untuk tunanetra. Pijat adalah profesi yang paling realistis dan idealis di mata mereka. Ini adalah ingatan kolektif para tunanetra. Ini adalah fakta yang kami dengar dan kami alami secara kolektif.
Setelah para tunanetra mematikan potensinya yang lain hanya untuk pijat, pemerintah seperti tidak menjamin profesi pijat ini. Satu per satu panti pijat tunetra lenyap. Panti-panti pijat tunanetra banyak yang bangkrut dan mati. Sebagian besar tunanetra merana, menangis, tersiksa dihimpit roda kehidupan yang terus berputar. Keluarga dan anak-anak mereka kelaparan, tak memiliki masa depan dan bahkan tak berani untuk bermimpi.
Para pemijat dihantam oleh jasa-jasa pijat orang berpenglihatan normal. Mereka dihajar oleh panti-panti pijat “plus-plus”. Mereka diinjak oleh para raksasa pebisnis jasa pijat yang mempekerjakan orang berpenglihatan. Para tunanetra malang ini bahkan sering mengalami ketidakadilan oknum staf pemerintah yang menghancurkan plang panti mereka, memeras hasil keringat mereka hingga mereka terbentur dinding tebal dan sekarat.
Sekarang, berbagai jenis jasa pijat terus menjamur. Jasa-jasa pijat dengan alat-alat elektronik semakin merajalela. Mereka pasang harga yang sangat murah. Mereka tumbuh besar dan menjadi salah satu pengancam kehancuran jutaan pemijat tunanetra.
Tak terasa lelehan air mata terus mengalir. Aku sesak dengan kenyataan pahit ini. Para pemijat tunanetra ini sudah terlalu lama bersabar. Sudah terlalu lama terhimpit. Sudah terlalu lama terpojok. Aku ingin membantu. Aku ingin mencoba merangkul masyarakat agar mau membuka pintu peluang untuk keterampilan mereka yang lain. Banyak dari mereka yang mahir bermain musik, mahir di bidang tarik suara dan mungkin masih banyak lagi potensi yang mereka sebenarnya miliki tapi mereka tak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Sudah waktunya pemerintah mencarikan jalan keluar atas permasalahan ini. Profesi mereka harus dilindungi dengan perangkat hukum. Mereka sudah kehilangan indera yang paling penting. Mereka bisa mandiri tetapi mereka butuh dukungan penuh dari pemerintah. Mereka juga memerlukan uluran tangan masyarakat agar mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik.
***
Taufiq Effendi, seorang tunanetra yang beruntung karena masih mampu mengembangkan potensinya di bidang lain sehingga bisa merasakan kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H