Mohon tunggu...
Taufiq Effendi
Taufiq Effendi Mohon Tunggu... -

Taufiq Effendi adalah seorang pemula di dunia blogging. Dia tertarik untuk bergabung di kompasiana setelah “menyelam” sebentar di lingkungan komunitas kompasiana pada peluncuran buku kedelapan Pak Wijayakusuma di Bank Indonesia tanggal 28 April 2012, di Thamrin, Jakarta. Saat ini dia berusaha belajar untuk lebih mengenal dunia blogging dan website. Oleh karena itu kali ini dia akan memulai mem-post tulisannya yang di publish di www.motivasibeasiswa.org sebagai pembuka. Taufiq Effendi adalah seorang tunanetra. Dia kehilangan penglihatan mata kanannya pada usia 10 tahun dan kehilangan sebagian besar penglihatan mata kirinya pada usia 15 tahun. Dia menjadi tunanetra akibat kecelakaan dan sederetan benturan di masa kecil. Dia putus sekolah bertahun-tahun sampai akhirnya berjuang menggapai mimpi-mimpinya. Saat ini dia bekerja sebagai salah seorang pengajar di Center for Civic Education Indonesia untuk program beasiswa Access Microscholarship dari pemerintah Amerika Serikat. Dia juga mengajar TOEFL di Universitas Negeri Jakarta untuk Mata Kuliah Bahasa Inggris. Di usianya saat ini dia sudah berhasil meraih 8 beasiswa luar negeri dan telah merasakan keliling dunia gratis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Pendidikan Terkontaminasi

12 Desember 2012   00:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:49 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya baru saja dikunjungi oleh seorang sahabat seperjuangan semasa kuliah dulu yang sudah lama tidak ketemu. Kita membicarakan banyak hal, mulai dari pernikahan hingga dunia pendidikan. Kami berdua adalah Sarjana pendidikan dan berkarir di dunia pendidikan. Bisa dibilang kami adalah pendidik dan menjadi pendidik adalah memang mimpi kami ketika memutuskan untuk menimba ilmu dari kampus tercinta. Namun, dunia pendidikan di negeri Antah Berantah zaman terang benderang sekarang, banyak dikontaminasi oleh oknum-oknum pendidik dan oknum-oknum lembaga pendidikan. Karena potret kelam dunia pendidikan di negeri Antah Berantah inilah saya akhirnya membuat tulisan ini.

“”

Hiruk-pikuk di sana sini. Bisik-bisik mendesis hamper di setiap baris. Muka-muka tidak sedap mulai memperkeruh suasana. Seorang guru perempuan menangis. beberapa guru menunjukkan otot-otot wajah yang tegang. Guru-guru yang lain Nampak ingin segera selesai. Ruang rapat kenaikan kelas menjadi panas. Beberapa guru ingin agar anak-anak yang “bermasalah” dikeluarkan saja. Mereka ingin agar anak-anak yang memberikan “beban” tambahan dipindahkan ke sekolah lain saja. Mereka ingin hanya anak-anak yang pintar dan tidak bermasalah saja yang diterima dan dididik. Sementara, beberapa guru yang tulus yang merasa memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak tanpa perbedaan kalah suara di tengah panasnya rapat. Sementara itu, guru-guru yang lain ingin agar rapat segera selesai karena perdebatan sudah terlalu lama.

“”

Narasi di atas adalah ilustrasi yang terjadi di banyak sekolah di negeri Antah Berantah. Jika seorang siswa nakal, bagaimana solusinya? Jika ada seorang anak yang buta ingin belajar di sekolah regular, bagaimana solusinya? Jika ada siswa yang sering bolos bagaimana solusinya? Jika ada anak didik yang membutuhkan penjelasan berkali-kali hingga akhirnya mengerti bagaimana solusinya? Jika ada anak yang bertanya macam-macam bagaimana solusinya? Ini adalah sederet contoh pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali terjadi di kehidupan pendidikan kita. Jujur saja, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini sering kali bernada negative. Anak-anak ini akhirnya harus berbesar hati ditolak oleh sekolah, sebuah lembaga yang paling mengerti tentang arti pentingnya pendidikan. Jika ingin jujur, masih sangat banyak masyarakat negeri Antah Berantah yang mendiskriminasi anak-anak seperti ini seolah-olah mereka adalah sampah masyarakat pendidikan. Mereka seolah-olah hanya akan member beban. Padahal, sejarah sudah mencatat banyak individu-individu yang memiliki keterbatasan fisik, yang dulunya dicap nakal dan lain sebagainya akhirnya mampu memberikan kontribusi positif yang besar kepada masyarakat luas.

Setidaknya ada dua akar masalah yang menyebabkan diskriminasi-diskriminasi pendidikan ini terjadi berulang-ulang di negeri Antah Berantah ini. Akar masalah yang pertama adalah karena umumnya para individu yang saat ini berprofesi sebagai “pendidik” adalah awalnya para pencari nafkah. Akar masalah yang kedua adalah karena telah banyak individu-individu yang sekarang berprofesi sebagai “pendidik” adalah cetakan dari oknum lembaga-lembaga pencari nafkah atau dididik oleh para pencari nafkah.

Dahulu kala di negeri Antah Berantah ini, ketika belum ada lembaga-lembaga sekolah, masyarakat menimba ilmu dari para pendidik sejati. Mereka dididik oleh orang-orang yang ingin mendidik, yang ingin mengubah masyarakat yang awalnya berperilaku tidak baik menjadi baik, yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang awalnya hanya orang biasa menjadi istimewa. Para pendidik ini mengemban tanggung jawab ini karena panggilan hati, karena hasrat untuk memperbaiki masyarakat, karena kepedulian social yang besar untuk mencerdaskan masyarakat. Mereka memutuskan untuk menjadi pendidik bukan lantaran mencari nafkah. Mereka menjadi pendidik karena ingin mengupayakan perubahan.

Zaman sekarang di negeri Antah Berantah ini, banyak sekali masyarakat yang memilih salah satu profesi lebih karena alasan materi. Mau kuliah ini? nanti kerjanya apa?mau kuliah itu? Nanti kerjanya apa? Pilih jurusan ini aja deh, biar nanti kerjanya ini? pilih jurusan ini aja deh biar gajinya besar. Ini semua adalah contoh pertimbangan-pertimbangan yang selalu muncul ketika ingin mendalami sebuah disiplin ilmu. Jelas, niatnya adalah karena materi, bukan panggilan hati untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Alhasil, saat ini baik mahasiswa pendidikan, keperawatan, kedokteran, psikologi, hokum, kepolisian atau yang lainnya kuliah seikhlasnya. mereka belajar hanya untuk angka-angka persyaratan lulus. Mereka belajar lebih karena ujian. Selesai ujian, selamat tinggal buku, selamat tinggal makalah. Selepas ujian, kembali ke karakter masing-masing, nonton sepuasnya, nongkrong sampai lelah, main games sampai pegel. Mereka tidak tertarik untuk mendalami disiplin ilmu yang sedang dipelajarinya secara optimal. Mereka tidak ada keinginan untuk menambah wawasan di luar kelas tanpa tuntutan tugas. Akhirnya banyak pemilik ijazah yang berorientasi penghasilan, bukan pengabdian. Makanya tidak heran, korupsi menjadi budaya masyarakat kita.

Sayang sekali, di dunia pendidikan negeri Antah Berantah ini, fenomena seperti inilah yang terjadi. Para pendidiknya banyak yang pencari nafkah. Mereka berprofesi sebagai pendidik karena ingin memiliki penghasilan. Mereka berprofesi sebagai pendidik karena ingin mencari nafkah. Akhirnya banyak anak-anak didik yang nakal, yang banyak nanya, yang sebenarnya frustasi karena memiliki masalah keluarga, yang memiliki keterbatasan fisik, yang memiliki perbedaan “terpaksa tidak dididik”. Mereka menganggap anak-anak seperti ini akan membahayakan sekolah. Anak-anak ini dianggap dapat menurunkan prestasi sekolah jika mereka tidak lulus. Sesungguhnya ini adalah tantangan yang membuat hidup menjadi lebih indah, lebih dinamis dan lebih bermakna karena mereka diharapkan sanggup mendidik sesuai dengan amanah yang diemban.

Jika anak-anak ini ditolak, mereka harus kemana lagi? Sekolah adalah tempat membentuk karakter. Sekolah adalah tempat memperbaiki perilaku. Sekolah adalah tempat membangun mimpi. Sekolah adalah tempat melahirkan dan membina generasi penerus bangsa. Jika penerus bangsa tidak dididik, bagaimana dengan masa depan bangsa negeri Antah Berantah ini?

Masalah berikutnya di negeri Antah Berantah ini adalah karena pendidikan dinilai sebagai lahan subur untuk mencari nafkah. Banyak sekali pendidik yang dicetak oleh oknum penghancur pendidikan. Ada beberapa oknum lembaga pendidikan yang didirikan untuk memenuhi mimpi para oknum yang membutuhkan ijazah dan gelar semata-mata untuk prasyarat jabatan atau alasan pekerjaan. Karena banyak oknum-oknum yang membutuhkan gelar inilah, akhirnya bisnis pendidikan ini terus menjamur dan tumbuh besar. Sesungguhnya ini adalah bisnis yang hina. Tidak semestinya profesi pendidikan diperjual belikan. Kehinaan bisnis ini terletak pada penyelenggaraan pendidikan yang amat ala kadarnya. Indikatornya jelas, jumlah jam kuliah yang sangat minim. Tugas kuliah yang seikhlasnya. skripsi atau tesis yang sekedarnya. Bahkan gelar Sarjana hanya ditempuh dalam waktu sesingkat-singkatnya. Akhirnya, kualitas lulusan seperti apa yang dihasilkan? Oknum lembaga pendidikan inilah yang meracuni dunia pendidikan. Pendidikan dihancurkan oleh para praktisi pendidikan sendiri.

Selain itu, di negeri Antah Berantah ini, banyak pula pendidik yang sebenarnya adalah pencari nafkah. Masuk kelas tidak untuk mendidik, tetapi sekedar memenuhi persyaratan administrasi untuk memperoleh gaji. Di kelas, menjelaskan seikhlasnya, tak perduli anak didik mengerti atau tidak. Terkadang juga tidak menjelaskan, tetapi langsung member tugas. Lebih parah lagi, banyak juga pendidik yang jarang masuk kelas dan selalu bisa memberikan angka-angka ajaib di atas kertas untuk anak-anak didiknya. Oknum-oknum seperti ini selalu memilih yang enak-enak; anak yang pintar, anak yang nurut, anak yang sopan, anak yang tidak pernah member kritikan. Anak-anak yang diluar kategori ini akan terlempar secara otomatis. Oknum-oknum seperti ini biasanya selalu menyalahkan anak, menyalahkan keluarga di rumah tanpa berusaha menyadiri diri sendiri bahwa sesungguhnya ini adalah tantangan, ini adalah tanggung jawab yang sesungguhnya, yakni mendidik anak nakal menjadi baik, anak yang tidak mengerti menjadi mengerti, anak yang glamor menjadi bersahaja, anak yang kasar menjadi sopan, anak yang frustasi menjadi anak yang optimis untuk berjuang menggapai mimpi.

Bagaimana solusinya? Menolak anak didik bukan solusi. Mengeluarkan anak nakal bukan solusi. Mendiskriminasi anak buta bukan solusi. Pemerintah negeri Antah Berantah harus “lebih cerdas sedikit” menyelidiki dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik di sekolah ataupun di jenjang pendidikan calon pendidik. Para oknum pendidik sebaiknya berupaya meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik dan sebagai pengajar bidang studi yang diajar. Setiap pendidik negeri Antah Berantah ini diharapkan kembali meluruskan niat, lebih bertanggung jawab terhadap amanah mulia ini.

Mendidiklah dengan hati. mendidiklah dengan penuh rasa kasih sayang. Mendidiklah dengan kesabaran. Jadilah pendidik yang memberikan inspirasi kepada siapa saja. Mendidik dengan hati dan tulus akan menghasilkan kejutan-kejutan yang luar biasa. Anak-anak yang semula dianggap “bermasalah” akan mampu mengukir prestasi-prestasi yang membanggakan sekolah, keluarga dan masyarakat negeri Antah Berantah.

Baca selengkapnya di:

http://blindtaufiqeffendi.wordpress.com/2012/12/09/akar-masalah-pendidikan-di-negeri-antah-berantah/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun