Senja yang berbalut hujan yang tiada henti, memberikan pesan bagi kedatangan orang-orang untuk mampir di sebuah warung kecil di tepi jalan yang licin. Rintik air hujan menyirami wajah masing-masing insan yang hendak beranjak pergi. Namun, kedatangan hujan mengekang raga dan menahan langkah para manusia.
Dalam beranda sunyi warung di tepi jalan, menjelang datang sewarsa usia. Semilir angin mengalir menyadarkan saya dengan kedatangan seorang pria yang berpenampilan lesuh dan tampak kurang sehat. Entahlah apa yang terjadi pada dirinya. Hanya tatap bingung yang dapat saya haturkan kepadanya. Tubuhnya terbias gontai hendak rubuh. "Sungguh malang," kata saya dalam hati. Wajahnya pucat pasi dengan ditemani keringat dingin yang mengalir dari wajahnya. Ditambah dengan pakaian basah kuyup dan tas besar yang sedang di gendongnya.
Di balik keheningan hujan yang bergulir pria itu datang menghampiri saya sambil berkata dengan suara yang sedikit tersengal, "Maaf, bisakah buatkan segelas teh panas untuk saya?" Dengan sigap saya menjawab, "Oh ya, tentu akan saya buatkan." Pada waktu itu saya sedang membantu Ibu saya untuk melayani pembeli. Mendengar permintaannya saya pergi ke belakang menemui Ibu saya. "Ibu, ada orang yang pesan segelas the panas," kata saya pada Ibu. "Oh ya?" tanya Ibu menegaskan. "Iya Bu, saya rasa Ibu harus cepat membuatkannya karena kelihatannya dia benar-benar membutuhkan teh itu," jawab saya menjelaskan. "Memangnya, ada masalah apa dengan orang yang memesan teh ini?" tanya Ibu kepada saya. "Ibu, jika dilihat dari tampangnya orang itu sedikit kurang sehat. Wajahnya putih pucat bagaikan mayat yang berjalan," jawab saya menceritakan. Â "Kalau begitu, mari ikut Ibu. Ibu mau mengantarkan secangkir teh panas ini untuknya," pinta Ibu.
Rintik hujan yang merdu bak dentingan jam yang bergulir detik demi detik menyisakan pria parubaya yang duduk di beranda warung dengan kepala terbaring di meja. "Ini teh panasnya," ucap Ibu memecah suasana sambil meletakkan the panas di meja. "Maaf, apa yang terjadi pada kamu nak?" tanya Ibu pada pria tersebut. Namun, pria itu diam tak berkutik. Mulutnya terlihat bergetar dan tubuhnya hanya diam terpaku tanpa mampu bergerak. "Oh, saya tahu apa penyebabnya," ucap Ibu mengejutkan. "Apa maksudanya Bu? Apa yang maksudnya Ibu tahu?" tanya saya bingung. "Begini, pria yang kau lihat ini sedang masuk angin. Jika dilihat dari tasnya ini dia pasti sedang bepergian jauh," jawab Ibu menjelaskan. "Oh iyakah, Ibu keren!" pujiku sambil bingung. "Tenang Fiq, Ibu tahu cara mengatasinya. Ini namanya masuk angin, kalau kata orang-orang zaman dulu hanya satu cara mengatasinya yaitu dengan kerokan," tutur Ibu menjelaskan. "Kerokan itu apa, Bu?" tanya saya dengan polosnya. "Itulah kalau bapakmu kurang sehat kan Ibu kerokkan sehingga punggungnya ada cap tulang ikannya, itu lho," jawab Ibu menjelaskan. Sambil tersenyum saya berkata "Oalah itu namanya kerokan ya Bu, soalnya nggak pernah ada di buku pelajaran."
Beberapa waktu saya diam dan sejenak memikirkan sesuatu yang bernama kerokan. Saya benar-benar bingung, bagaimana mungkin dengan kerokan orang bisa sembuh dari masuk angin. Sungguh hebat, kerokan sangat luar biasa bahkan mengalahkan teknologi bernama obat. Bertahan beberapa saat dengan lamunan ucapan ibu memecah khayalan imaji yang sempat terbayang. "Fiq, ayo gih bantu Ibu ambilkan balsem sama uang koin di belakang," pinta Ibu kepada saya. "Siap bos," jawab saya singkat. Akhirnya saya ambilkanlah sebuah koin beserta balsem sesuai dengan yang telah diminta oleh Ibu. Ibu bertanya kepada pria yang sedang duduk di bangku beranda warung, "Maaf nak, apa mau saya kerokkan?" Pria itu tampak bingung dan bertanya dengan suara lirih, "Kerokkan, kalau memang bisa meghilangkan derita ini mau tidak mau saya mau Bu."
Dengan cekatan, Ibu memulai sebuah prosesi yang dinamakan kerokan. Sebuah perlakuan yang diberikan kepada seseorang yang sedang masuk angin dengan tujuan mendorong keluar angin yang sedang ada di badan. Ibu meminta dengan sopan kepada pria tadi untuk sedikit menyingkap pakaiannya agar dapat dikerok oleh Ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya pria tersebut menuruti permintaan Ibu. Merintih dari pangkuan Ibu yang lama layu. Melalui bibir Ibu tercerna doa dan harap agar pria tersebut segera membaik.
Perlahan wajah pria tersebut kembali membaik dan menyisakan tubuh yang terlihat bugar. Punggung yang bercap tulang ikan kembali disarunginya dengan pakaian yang tadi dipakainya. "Terima kasih, yah bu. Berkat Ibu saya jadi kembali sehat," ucapnya kepada Ibu. "Iya nak, sama-sama semoga cepat sembuh yah. Ingat, kalau masuk angin jangan langsung minum obat. Lestarikan kerokan sebuah budaya nenek moyang yang terbukti bermanfaat," jawab Ibu dengan gembira. "Baiklah, kalau begitu saya mau melanjutkan perjalanan yang masih jauh mumpung hujan mulai reda. Oh ya, saya hampir lupa, berapa semuanya?" ucap pria itu. "Oh ya udah, gratis saja. Lagipula, saya murni ingin membantu," tolak Ibu. "Oh tidak apa-apa, jangan sungkan perbuatan Ibu sangat baik. Kalau Ibu tidak mau menerima bayaran, anggap saja uang ini untuk adik kecil ini. Untuk uang jajannya," ucapnya sambil memasukkan uang berwarna merah dengan gambar Soekarno di salah satu saku saya. "Terima kasih, ya mas," jawab saya. Melihat tingkah saya, Ibu hanya diam dan menahan gelak tawa. Maklum, waktu itu saya masih duduk di kelas dua SD.
Akhirnya, pria tersebut pergi dan kembali mengendarai motor yang digunakannya tadi. Saat senjakala tak lagi menebar jingga. Dalam bayang mega kelam. Membias resah hujan basah. Berakhir sudah, pria tersebut di telan masa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H