Ada kabar sangat bagus minggu kemarin. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, seperti yang saya baca dari berbagai sumber, bahwa pemerintah Uni Emirat Arab akan merealisasikan rencana penanaman modal di Indonesia. Nilainya tidak tanggung-tanggung: US$20 miliar!
Dari total investasi US$20 miliar tersebut, Luhut menjelaskan lebih lanjut, bahwa sektor energi, khususnya energi terbarukan (EBT), akan menjadi salah satu sektor yang diincar investor tersebut.
Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan. Investasi US$20 miliar diyakini tidak saja akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum tetapi sekaligus akan membuat industri dan proyek energi terbarukan yang sedang melesu akhir-akhir ini menjadi bertenaga kembali.
***
Semua orang tentu sudah tahu fakta betapa beruntungnya Indonesia karena mendapatkan berkah menjadi negara yang memiliki sumber energi terbarukan yang luar biasa besar. Sebut saja, misalnya, tenaga surya, angin, hidro, hingga panas bumi. Jika ditambah dengan berbagai jenis sumber energi terbarukan lainnya, akumulasi potensinya bahkan bisa mencapai 439.000 megawatt. Namun, dibalik semua itu, kita juga tahu bahwa rasio pemanfaatannya masih sangat kecil.
Apa yang membuat rasio pemanfaatannya masih sangat kecil? Mengapa industri EBT tanah air melesu?
Jawaban untuk pertanyaan di atas pasti bisa sangat banyak. Bisa bermacam-macam. Tetapi, yang jelas, secara umum, kalau boleh saya sarikan (dari beberapa sumber dan dari yang saya amati), kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut: harga (investasi yang sangat mahal), keandalan, fleksibilitas, isu sosial termasuk lingkungan, fiskal, dan regulasi.
Sekedar contoh kecil dari banyak daftar kendala-kendala tersebut, misalnya, tentang industri tenaga panas bumi. Meskipun Indonesia adalah pemilik tenaga panas bumi terbesar di dunia (pemilik 40 persen dari total sumber panas bumi di dunia), namun, seperti yang kita tahu, pemanfaatannya masih sangat kecil. Salah satunya kendalanya adalah: harga listrik.
Harga listrik yang dihasilkan dari PLTP (panas bumi), khususnya di Indonesia, adalah termasuk sangat mahal. Bisa dua kali lipat atau lebih dibandingkan harga listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Setidaknya, karena perkara harga ini, pemilik atau investor yang berkontrak dengan perusahaan tempat saya bekerja sekarang pernah membatalkan proyeknya. Imbasnya; kontrak pembelian material untuk pengeboran dengan perusahaan tempat saya bekerja pun dibatalkan - padahal barang sudah kami datangkan dari Jepang!
Karena dibatalkan, masalahnya kemudian merembet kemana-mana, termasuk somasi dan tindakan litigasi. Cukup hanya itu? Tidak! Selain masalah pembatalan kontrak tersebut, saya meyakini, pasti masih ada begitu banyak masalah pelik lainnya yang juga tak mudah dituntaskan oleh investor yang membatalkan proyeknya tersebut. Â
Selain harga seperti yang saya tuliskan di atas, kita juga tahu, bahwa letak sumber panas bumi di Indonesia umumnya berada di pegunungan - di kawasan konservasi. Karena berada di kawasan hutan lindung, urusan perijinan untuk pemanfaatannya pasti sangat berliku-liku, ruwet, dan menguras banyak tenaga, waktu dan uang. Â