Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Tuhan, Aku, dan Sepotong Cerita Tadi Pagi

28 September 2020   18:53 Diperbarui: 28 September 2020   20:49 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita hanya akan bisa menemui Tuhan dalam sajadah dan mushaf kita."

Kalimat itu, yang Anneita ucapkan dengan tegas, beberapa bulan lalu, membuat aku tertegun. Aku diam tak berucap sepatah pun. Sampai hari ini, kalimatnya itu masih kusimpan rapi di kepalaku...

Pagi hari tadi, sebelum terik merambat, aku melihat bapak satpam tergopoh-gopoh berjalan dengan cepat menuju ke sisi jalan raya. Ia menghampiri lelaki renta yang tertatih-tatih menuntun motor tuanya dengan setang penuh barang. Mungkin ia kehabisan bensin, atau mungkin bannya kempes, atau mungkin businya sudah sekian tahun tak ia ganti. Dua anak perempuan kecil mengikuti di belakangnya. Entah, sejak dari mana lelaki renta itu berjalan.

Satpam yang kulihat tadi pagi dengan cepat merebut setang sepeda motor. Menuntunnya ke sisi jalan yang sepi. Menstaternya berkali-kali. Tetapi, ia gagal. Kulihat satpam itu membuka dan membersihkan busi...

Aku menghentikan langkahku, mematung melihat pemandangan itu.

Dan, sedetik kemudian, mendadak aku ingat Anneita! Aku ingin sekali bertanya kepadanya, apakah ia akan punya selarik kalimat mahaindah untuk melukiskan kejadian itu? Bagiku, Tuhan adalah segala kebaikan. Di mana seseorang melakukan sedikit kebaikan di tempat, di waktu, dan di saat apapun, maka ia (sebenarnya) sedang menemui Tuhannya. Ia, satpam yang kulihat tadi pagi, sedang menemui Tuhannya dengan cara sangat indah. Iya, kan?

Hei, Anneita! Jika kau tak setuju dengan pendapatku, kukira, kita sebaiknya akan terus berbeda pendapat seperti ini saja. Itu lebih baik dan tak perlu lagi diperdebatkan..

Mushaf, beberapa orang memaknai sebagai mengkaji kitab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun