Tak ada upacara peringatan 17 Agustus tahun ini. Tidak ada lagi lomba panjat pinang, tarik tambang dan bakiak. Tak ada keseruan datang kembali seperti setahun setahun yang lalu...
Tak ada orang-orang tertawa terpingkal-pingkal begitu rupa ketika melihat celana peserta panjat pinang yang melorot jauh ke bawah atau melihat ibu-ibu yang kesulitan menangkap belut dan memasukkannya ke dalam botol
Tak ada tawa riang untuk orang-orang kecil tahun ini  Â
Kemana perginya tawa dan kegembiraan itu?
Aku menulis sajak ini dalam keharuan yang sangat. Ya, sebab hanya pada perayaan peringatan 17 Agustus lah orang-orang kecil bisa merayakan kegembiraannya setelah mereka kelelahan dihimpit kesulitan dan melihat tontonan kepedulian yang naif pada realitas ketimpangan yang dihasilkan oleh kesewenang-wenangan dan nasib yang tidak berpihak
Pada peringatan 17 Agustus lah aku pernah mendapati bocah kecil yang menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia Raya dengan mata berair. Dia larut dalam keharuannya. "Hanya air mata yang bisa kupersembahkan kepadamu, ibu Pertiwiku," barangkali begitu lah ia melukis puisi di dalam dadanya
Tidak, tidak ada kegembiraan dan keharuan seperti itu lagi tahun ini. Tidak ada tawa, kegembiraan dan semangat yang sama tahun ini
Yang ada adalah berjuang. Berjuang  keras sambil berkejar-kejaran, menonton drama ketimpangan dan mendengarkan suara fals tentang hidup yang berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H