Nah, jika proyek kilang besar Pertamina itu berjalan mulus dan lurus sesuai rencana, maka niscaya akan ada banyak kisah-kisah serupa seperti yang dituliskan Meirri Alfianto di artikelnya tersebut.
Kisah (temannya) yang menjadi Welding Inspector, yang memegang sertifikat welding dengan kualifikasi CSWIP, NDT dan/atau AWS, yang memeroleh upah 1,5 - 2 juta rupiah bersih (sehari) di luar akomodasi adalah bukan kisah imajinasi. Saya mengkonfirmasi bahwa kisah tersebut adalah benar adanya.
Begitulah. Proyek-proyek besar migas memang sudah lama menjadi surga dan dianggap sebagai puncak karir pencari kerja (lulusan) teknik. Silakan baca artikel saya sebelumnya "Apakah Kedua Pekerjaan Ini Masih Dianggap Puncak Karier Orang-orang Teknik?" (Kompasiana, 1/8/20).
Bagi Pemerintah, berjalan kembalinya proyek-proyek besar itu juga adalah kabar sangat baik. Puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu pekerja akan memeroleh kembali pekerjaannya. Kontraktor-kontraktor lokal akan kembali hidup setelah hampir mati lemas.
Rantai suplai, seperti; suplier, fabrikator, sub-kontrator, dan industri pipa, baja, dan lain-lain juga akan bernafas kembali. Intinya; proyek itu akan memberikan manfaat sangat besar, baik itu bagi masyarakat sekitar maupun secara nasional. Proyek akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi, apakah perjalannya akan semudah itu?
Jika saya diberikan pertanyaan itu, saya akan menjawab: semua akan bergantung kepada komitmen Pemerintah. Tantangan terbesar mengelola proyek besar dan mendatangkan investor di sektor hulu migas adalah memastikan adanya kepastian hukum yang lebih menarik. Tanpa itu, mereka akan pergi.
Kisah dan cerita investasi hulu migas Indonesia memang (pernah) berliku-liku dan, kadang-kadang, tidak terduga. Masih ingat cerita blok Masela, kan?
Pengelolaan Blok Masela di lepas pantai Maluku, memang (pernah) berliku dan tak terduga. Ditemukan sejak 1998, blok Masela yang memillki cadangan migas 3 -- 4 trillion cubic feet (TCF) baru diputuskan Pemerintah untuk dikelola di darat pada 2018.
Sebelumnya ada tarik menarik kuat antara dua kubu yang bersikukuh dengan argumennya masing-masing. Kubu pertama berpendapat gas akan lebih efisien jika dikelola di laut lepas (kilang terapung). Kubu kedua bependapat sebaliknya; gas lebih baik dikelola di darat karena ongkosnya lebih murah.
Pada September 2015, Inpex Corporation dan Shell mengajukan rencana pengelolaan blok Masela di laut dengan nilai investasi US$ 14 miliar atau US$ 5 miliar lebih murah dibandingkan nilai investasi jika pengembangannya dilakukan di darat. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga menyarankan hal yang serupa.