Telah empat hari berlalu kamu mengirimiku pesan-pesan sampah. Kamu agaknya masih menyimpan dengan sempurna seluruh perasaan iri dan muakmu padaku. Kamu adalah makluk egois, yang melihat segala tentang aku hanya dari kacamatamu. Lalu menuntutku mengikuti pendapatmu.
"Jika kamu tak memberikan hak yang bukan milikmu, maka sampai kapanpun aku takkan ikhlas," katamu dalam pesan yang kau tulis panjang itu.
Setelah itu lalu kamu sibuk memperbincangkan masa laluku, keluargaku, ibadah-ibadahku, dan bahkan kau mempertanyakan barangkali Tuhan tak akan menerima ibadah-ibadahku karena aku tak memedulikanmu. Hah!
Kamu tulis bahwa dirimu adalah orang yang baik dan mengatakan aku adalah orang yang salah, tetapi tanpa sadar justru telah merendahkan dirimu sendiri. Padahal, bukankah mendiamkanku saja itu sudah jauh lebih baik ketimbang mengirimiku pesan sampah itu. Tapi itulah realitas hidupmu. Seringkali kamu berbicara sederetan kalimat bagus, supaya kamu dianggap baik dan paling paham pelajaran akhlaq daripada aku.
Mungkin kamu harus belajar teori psikologi agar kamu paham bahwa kamu harus bersikap realistis bahwa kamu adalah kamu dimana kamu sekarang berdiri. Sekarang, kamu adalah ayah yang nyaris gagal. Nyaris tidak bekerja, hidup di kontrakan murah, dan setiap hari hanya menyalah-nyalahkan orang lain -- terutama aku. Secara psikografi, aku menyebut dirimu adalah ayah yang tidak memiliki masa depan.
Berhentilah menyalahkanku! Terimalah kenyataanmu. Segera pulang. Hidupmu harus kau lanjutkan.
Sepertinya, aku tak akan pernah bisa tidur nyenyak malam ini sebelum aku bisa merampungkan sajak ini untukmu. Meski kopi di depan mejaku tak lagi beraroma dan wanginya sudah pergi, tapi sajak ini harus selesai agar kamu bisa membaca malam ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H