Aku pernah mendengar suaramu. Yang menyapaku. Delapan bulan yang lalu.
Aku pernah mendengar sapaanmu yang sayup-sayup karena dibisingi suara ban yang berderit-derit melindas aspal.
Aku pernah mencium parfummu, yang dibawa angin malam yang berembus dari setasiun Jatinegara.
Ketika mengenang suaramu menyapaku, aku mendadak ingat Dita, yang meraung meminta ampun di depan banyak preman. Atau barangkali aku ingat teman-temanmu yang terseok menegakkan hidup di jalanan yang dingin. Â Suara-suara mereka jelas tak merdu. Sengau. Wajah mereka pias. Mereka hanya bisa berjoget-joget di warung-warung atau di lampu merah mengharap tangan diulurkan. Telanjur dihina. Sama seperti seorang pengamen tua yang kulihat duduk termenung di pojok trotoar memeluk ukulelenya.
Orang-orang sepertimu kerap dijemput nasib untuk bertarung dengan sesama jelata di sudut-sudut kota. Yang kumuh.
Sore masih rintik. Tapi, aku mendadak ingin menjumpaimu. Agar bisa kudengarkan ceritamu yang belum tuntas kau kisahkan. Sebab aku tak pernah membencimu..