Ramadlan 1423 H.
El masih duduk di kursi. Dia baru saja selesai sahur dengan adik-adiknya. Hanya sedikit nasi yang sanggup ditelannya.
Enam adiknya duduk muram di sudut ruang tengah. Adiknya yang terkecilnya, Julia, seusia 7 tahun, pias mukanya. Tangan kirinya memegang erat celengan plastik yang tak berisi. Pipinya basah usai menangis. Sepiring nasi dengan mangkok supermi rebus masih utuh tak disentuhnya.
Ramadlan sunyi tahun itu, tahun 1423 H, genap sepuluh bulan orangtua El pergi.
Setelah orangtua tiada. Rumah bagai tempat yang tak lagi bermakna. Kecuali hanya menjadi tempat penyimpan kisah-kisah nestapa. El merasai itu.
"Tapi sepatu dan baju sekolahku jelek dan kotor begini", kata Julia. Suaranya parau. Dilipatnya sedikit karung putih bekas tepung terigu yang dipakainya sebagai tas sekolah.
El tak tega melihat pemandangan itu. Â
Sembari memandangi awan senja yang berarakan, di lapangan rumput halaman balai desa, di tepian sawah, El merebahkan lelah. Dibacanya puisi mimpi.
"Aku sudah mendengar puisimu, bunga Aprikot, dan sepucuk doa indah, yang kau panjatkan di halaman balai desa itu," katanya serius.
Hujan belum juga usai. Sembari menikmati suara air yang berebut jatuh, di Langenhagen, Hannover, El ingin mendengarkan puisi itu lagi. Tentang mimpi.