Mendapati umpatan itu, saya pun lebih memilih diam tidak memberikan respons. Ingin saya sedikit memberikan tanggapan dari banyak kalimat yang sebenarnya ingin saya tumpahkan bahwa saya tak pernah menerima bayaran sedikit pun seperti buzzer-buzzer lainnya yang sudah turut membangun opini publik atas kampanye (politik) yang tertentu.
Saya ingin sekali menyampaikan bahwa, perbedaan reaksi dan tanggapan, menurut pendapat saya, sebenarnya, bukanlah hal buruk. Itu justru baik untuk membawa demokrasi kita menjadi lebih dewasa. Tetapi, sayangnya, sekaligus sialnya, fakta yang muncul ke publik ternyata lain.Â
Perbedaan justru dimanfaatkan oleh elit politis atau oleh kelompok yang tidak suka dengan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dengan cara membolak-balikkan narasi.
Dan, sialnya (lagi), itu dilakukan pada saat kesadaran politik dan literasi rakyat juga masih rendah.
Tetapi, ternyata, saya masih beruntung. Saya masih memiliki Baskoro, teman baik saya.
"Ayo lah mas, kita nge-teh bareng lagi. Pemandangan Kota Tua menjelang malam pasti sangat istimewa untuk difoto," saya menuliskan pesan itu di mesin gawai saya. Saya tahu, Baskoro adalah penyuka fotografi. Ia pasti tidak bisa menolak jika saya temani dia mengambil foto-foto eksotik kota tua itu.
Maka, secangkir teh, di sebuah kafe, di kota tua Jakarta, beberapa hari yang lalu, akhirnya bisa menjadi teman hangat ketika saya mulai mengisahkan semua cerita-cerita "tidak masuk akal" dan cerita tentang kegelisahan saya mengapa orang sulit sekali menerima pendapat yang berbeda?
"Ternyata, mempunyai pendapat atau opini berkebalikan dari kebanyakan orang itu sangat sulit, Mas," kata saya.
Baskoro adalah teman yang baik. Ia mau mendengarkan "keluhan" saya dan memulai menceritakan pikiran-pikirannya yang unik tentang ragam psikologi manusia.
"Orang memiliki cara-caranya sendiri (yang berbeda-beda) untuk mengolah dan memaknai ribuan informasi yang ia serap. Cara-cara mereka itu banyak dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman hidup, budaya, adat isitiadat, pendidikan dan sebagainya. Pengalaman dan perjalanan hiduplah, juga ilmu pengetahuan yang ada di kepalanya dan suara hati juga menentukan," katanya.
"Kata orang bijak: You are what you eat," imbuhnya.