Saya tadinya mengira bahwa benturan antara kelompok pendukung karena identitas dan kasus SARA yang melelahkan itu akan ikut berakhir bersamaan dengan tuntasnya hajatan Pilkada DKI. Tetapi, ternyata, dugaan saya itu salah. Meski Anies-Sandi (kini Sandi tidak lagi menjadi wakil), sudah duduk di kursi DKI 1, tetapi, semangat membawa-bawa identitas dan agama sebagai marwah dan ruh jihad ternyata belum ikut berakhir.
Tak hanya benturan dua kelompok dan kasus dugaan SARA semata, kini, FB, twitter dan ribuan video-video selain menggelorakan semangat identitas dan "jihad", ujaran kebencian, maki-memaki, hoaks, kampanye hitam dan fitnah terus saja dibuat dan dikonsumsi.
Penggeloraan semangat identitas dan "jihad" yang terus melanda sudah sangat meresahkan. Hampir setiap hari, tanpa jeda, kita terus saja disuguhi banyak narasi yang dimunculkan dan dibumbui aroma kebencian dan permusuhan.
Pada saat menyampaikan Pidato Kontemplasi di Puri Cikeas, Bogor, Senin (9/9), Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyebutkan keresahannya akibat penggeloraan semangat identitas yang berlebihan.
Saat ini, Â kata SBY, rasa persaudaraan rakyat Indonesia melemah, sementara permusuhan antar lapisan masyarakat yang berbeda identitas semakin menguat.
Kondisi yang demikian, katanya, bisa diidentikkan dengan lampu kuning.
Jauh sebelum Pemilu 2019 dilangsungkan, ancaman kampanye dengan menggunakan isu-isu identitas memang sempat dikemukakan dan dikuatirkan banyak orang. Selain identitas, ujaran kebencian, maki-memaki, hoak, kampanye hitam dan fitnah juga membayangi.
Burhanuddin Muhtadi, pengajar FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, dalam bukunya yang berjudul "Populisme, Politik Identitas dan Dinamika Electoral", menuliskan pendapatnya bahwa isu-isu identitas yang marak di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari banyak peristiwa politik yang terjadi di banyak tempat di dunia. Usai kemenangan Victor Orban di Hungaria (2010), Brexit di Inggris (2016), Donald Trump di Amerika Serikat (2016) dan Bolsonaro yang memenangi Pemilu Brazil (2018), isu politik identitas kian kerap digunakan.
Di Indonesia sendiri, Anies juga dinilai banyak pihak bisa berhasil mengalahkan Ahok dengan strategi politik yang mirip dengan strategi yang digunakan banyak tokoh-tokoh dunia yang saya sebutkan diatas.
Mengapa politik identitas tetap disuka?
Apakah karena ia (sudah) dianggap sebagai cara-cara (sudah biasa) untuk memenangi kontestasi politik yang paling efisien, murah tetapi hasilnya sangat efektif? Â