SATU siang di lift gedung jangkung di Jakarta. Sebuah percakapan antara 3 orang laki-laki berumur 35 tahunan menarik perhatian saya. Sambil mempermainkan pulpen di tangan, saya merekam sangat jelas apa yang mereka percakapkan.
"Seharusnya kita tidak meladeni dia tadi," kata salah satu dari mereka.
"Ya, memang susah berbicara dengan orang yang tidak paham."
"Yups. Intinya adalah, agama itu harus kita letakkan di atas adat dan budaya. Kalau tidak sesuai dengan agama, tinggalkan. Itu saja," kata laki-laki yang berkemeja putih.
Lift tidak begitu sesak siang itu. Bule di sebelah saya tampak asyik memencet-mencet telepon genggamnya. Sedang ibu paruh baya yang berdiri di pojok lift tampak diam saja mendengarkan obrolan ketiga pria itu. Ada (sebenarnya) rasa ingin melontarkan sedikit pendapat, sebuah reaksi spontan sebagai bentuk sedikit ketidaksetujuan saya. Â
Tapi saya kemudian sadar, bahwa laki-laki berbaju putih itu bukan teman saya. Saya tidak mengenalnya. Mungkin saja ia akan sebal mendengarkan pendapat saya. Ia pasti merasa sudah cukup benar, atau sangat benar. Begitulah kebanyakan orang!!
Ting! Pintu lift membuka. Saya segera menghambur keluar.
Obrolan antara 3 orang laki-laki, selama hampir 30 detik, di lift gedung jangkung, itu menarik perhatian saya. Bahkan, membuat saya terkejut. Terutama pada kalimat yang diucapkan laki-laki berkemeja putih; "agama itu harus kita letakkan di atas budaya."
Selama dalam perjalanan menuju kantor saya, saya terus memikirkan kalimat itu. Tak sekedar cerita dari sebuah percakapan di lift gedung tadi, beberapa minggu yang lalu saya juga terkejut mendengar kalimat yang sama -dari teman saya. "Semua tradisi yang tidak sesuai dengan agama harus kita ubah," katanya.
Perbedaan pandangan dan perdebatan yang membahas apakah budaya "yang tidak sesuai" dapat diterima agama nyaris tak pernah reda. Bahkan, garis tegas yang memisahkan kelompok yang ini dan itu kian jelas terlihat. Dan, beberapa waktu lalu, kita juga mendapati fakta bahwa perdebatan budaya dan agama tidak saja dipercakapkan dalam ruang diskusi dan riuh ditafsirkan, tetapi dampak sosialnya telah benar-benar terjadi saat sekelompok masyarakat bersikap main hakim sendiri terhadap acara adat Sedekah Laut di Bantul dan Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, Jawa Timur.
Dalam artikel berjudul "Hitam Putih Budaya Versus Agama", yang dimuat di harian Kompas, 11 November 2018, Alissa Wahid menuliskan bahwa di Indonesia saat ini telah dan sedang terjadi pertarungan antara 2 (dua) kelompok yang meyakini Islam substantif-inklusif dan kelompok pengusung Islam legal-eksklusif. Lebih lanjut, Alissa Wahid menuliskan, Gus Dur menggunakan terminologi yang lebih sederhana: pertentangan antara kelompok yang memaknai islam sebagai inspirasi dan Islam sebagai aspirasi.