Meski sesungguhnya makna "dalil" dan "dalih" dengan mudah dapat dibedakan, tetapi, dalam banyak ruang (forum diskusi), keduanya kerap sengaja dicampur-adukkan. Banyak orang merasa berdalil, padahal ia sedang berdalih. Atau sebaliknya; sedang berdalih, tetapi ramai-ramai dianggap berdalil.
Usai ikut atau mengamati diskusi (apalagi diskusi politik di televisi), saya kadang-kadang menyimpan sendiri pertanyaan dalam hati; mengapa pasal atau objek yang jelas-jelas sama terus saja ditafsiri secara berbeda? Mengapa makna harus dipaksakan? Apakah dalil justru kita tuhankan melebihi Tuhan yang sebenarnya?
Di ruang maya, bagi yang sependapat dengan pikiran dan pendapatnya, sering orang (akun-akun) yang segaris dengan cepat merespon dan mengamini pendapatnya itu dan lantas diteguhkan dengan dalil yang dicuplik dari kitab yang dijadikannya sebagai rujukan. Tetapi dengan cepat pula direspon oleh pihak yang berseberangan dengan menyebutnya sebagai "dalih".
Saya muak. Satu pelajaran berharga sekaligus pertanyaan, apakah orang yang yakin seyakin-yakinnya adalah orang-orang yang egois?
Apakah dalih sedang dimaknai sebagai ikhtiar pembenaran? Atau sebagai ikhtiar untuk melarikan diri dari persoalan.
Meski makna "dalil" dan "dalih" jelas berbeda, tidak sama dan seterusnya, tetapi mengapa banyak orang tidak lekas mengerti dan terus menerus mencampur-adukkan keduanya?
Apakah jawabannya karena "dalil" selalu diberikan untuk pikiran-pikiran yang segaris dan sewarna, dan "dalih" diberikan untuk yang sebaliknya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI