Yen sira landep aja natoni,
Yen sira banter aja nglancangi,
Yen sira mandi aja mateni.
Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan, seorang wali yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, pernah mengajarkan pesan demikian. Pada jamannya.
Dan, falsafah sangat luhur itu, kemarin, pada saat libur hari raya Idul Fitri 2019, saya temukan tercantum di lukisan Gusjigang, di Museum Jenang Kudus, Jalan Sunan Muria, Kudus. Sekitar 600 meter sebelah utara dari Alun-alun Kudus. Saya memang baru sempat berkunjung ke museum itu kemarin.
Di depan lukisan Gusjigang itu, saya berhenti. Sejenak. Dan berkomentar. "Sudah ratusan tahun silam, Sunan Kudus sudah mengajarkan umatnya tentang falsafah hidup yang demikian mulia dan luhur dan akan terus abadi hingga melintasi jaman," di dalam hati aku menyimpan sendiri komentar-komentarku itu.
Pada lukisan itu juga, jika kita jeli melihatnya, akan memberitahu kita kisah, bahwa para lelaki kota Kudus adalah sosok yang saleh dan seorang pekerja keras.
Dan sosok perempuan Kudus digambarkan sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya serta taat beribadah.
Yakkk, warisan Sunan Kudus yang diabadikan di lukisan Gusjigang itu memang merupakan salah satu falsafah sangat luhur tentang konsep bagaimana memandang keanekaragaman dan menata toleransi.Â
Falsafah itu mengajarkan kita tentang sikap hidup yang bemuara pada kerendahan hati, menghormati orang lain, tidak menang-menangan sendiri serta sikap mengalah.
Mungkin karena warisan dan pesan Sunan Kudus yang seperti itu sangat ditaati umat dan demikian kuat mengakar di hampir semua sendi-sendi kehidupan masyarakat kota Kudus sehingga berhasil membuat sikap toleransi masyarakat Kudus terus terawat hingga hari ini, tidak pernah aus, rusak atau kadaluwarsa oleh jaman. Â
Masyarakat Kudus memang senantiasa mampu merawat sikap toleransi. Maka, hasilnya, hingga hari ini, kita bahkan hampir tidak pernah mendengar kabar ada kejadian kerusuhan yang bermuara pada perbedaan etnis dan agama di kota kecil itu. Padahal, bukankah, ada begitu banyak industri dan perusahaan besar di sana yang dimiliki dan dioperatori oleh orang-orang non muslim dan bukan etnis Jawa.