Namun, ternyata, setelah itu, saya justru menemukan istilah menarik: blind loyality.
Istilah ini saya temukan setelah saya membaca beberapa artikel yang mengulas tentang psikologi manusia (teori disonansi kognitif), blind loyalty dan hubungan antara keduanya.
Apa itu blind loyalty?
Menurut Urban Dictionary: blind loyalty (dalam bahasa Indonesia berarti loyalis buta), dalam pengertian umum, adalah pengabdian dan kesetiaan kepada suatu bangsa, tujuan, filsafat, negara, kelompok, atau kepada seseorang (tetapi kebablasan).
Loyalitas buta atau loyalitas yang kebablasan melibatkan bentuk disonansi kognitif di mana seseorang melihat bukti adanya masalah, perilaku atau sesuatu yang buruk dan kemudian menutup mata terhadap semua kebenaran, data dan informasi demi mempertahankan citra positif orang yang disanjungi tersebut.
Disonansi kognitif bisa dimaknai merujuk kepada situasi yang melibatkan sikap, keyakinan, atau perilaku yang saling bertentangan.
Bahwasanya para perokok itu tahu dan meyakini bahwa merokok itu menyebabkan penyakit (kanker atau kognisi), tetapi mereka tetap saja merokok. Itulah contoh sederhana bagaimana sikap, keyakinan, atau perilaku yang saling bertentangan bercampur-campur.
Dalam konstruksi anggapan yang mereka bangun, orang-orang dengan sikap, keyakinan dan/atau perilaku yang saling bertentangan, menganggap apapun dan semua yang dilakukan orang-orang yang dia tidak sukai adalah salah. Semua salah. Berjalan salah. Diam juga salah. Maka, data, informasi, angka dan bukti pun tak lagi penting.
Pertanyaan menariknya adalah: siapakah yang bisa saya sebut sebagai loyalis buta itu? Apakah Frans dan mas Har? Atau apakah mbak Ningrum?
Mencintai calon presiden yang dicintainya, menjadi partisan, dan semua ekspresi demokrasi sebenarnya takkan pernah buruk saya kira.
Tapi bila cinta itu sudah membabi buta dan lalu menafsirkan apa-apa yang dilakukan orang lain sebagai salah, lalu membenci orang lain, dan kelompok lain, maka itu pastilah bukan demokrasi. Itu pasti polusi sosial.