Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Milik Meta, Kisah Kepura-puraan dan Filosofi Ayah Saya

24 September 2018   23:00 Diperbarui: 24 September 2018   23:16 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.bernas.id

"Mas bisa ke Tangerang?" tanya Frans melalui pesan yang ia kirim ke gawaiku. "Sakit adik saya semakin parah."

"Aku sibuk sekali minggu ini, mas. Mungkin minggu depan, yahh?" balasku cepat.

"Noted. Saya tunggu minggu depan ya. ...." Lalu klik.. hape kumatikan. Saya bergegas pergi. Sebentar lagi harus rapat.

Berada di aspal kota Jakarta, siang hari itu, terasa sangat panas. Matahari bersinar sangat terang di langit ibu kota. Di atas sadel motor abang ojek, saya memikirkan Meta. Sudah kesekian kalinya Frans ngotot mengajak saya menemui Meta.

Meta didiagnosa menderita sakit kanker rahim sangat akut. Kata dokter, ia harus mengambil istirahat total. Tetapi, Meta "keras kepala", kata Frans. Ia sedikitpun tak pernah mau mengikuti apa kata dokter. Sejak ia divonis sakit kanker rahim dan dokter yang memeriksanya mengatakan tak lagi bisa menghentikan sakitnya itu, Meta terus memaksa dirinya bekerja, merawat kedua putrinya yang masih kecil, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menjaga toko kecilnya di mulut gang. "Kasihan anak-anak, mas," katanya.  

Meta juga tak pernah berpikir menikah lagi. Hari-harinya hanya diabdikannya untuk dua orang putinya. Kini kedua putrinya sudah berusia 7 tahun dan yang paling kecil 4 tahun.

Ketika Meta menikah dengan Wahyu, seperti yang dikisahkan Frans kepada saya, Meta tampak sangat "menderita" hampir sepanjang kebersamaannya dengan mantan suaminya itu. Wahyu kelihatan seperti seorang suami yang sangat tidak mau mengerti. Meta mengerjakan hampir segala hal. Menyiapkan tetek bengek urusan anak-anaknya sebelum sekolah, memasak, mencuci, menyeterika dan ikut mencari nafkah dengan cara menunggui warung di depan rumahnya. Tak seberapa uang yang ia peroleh dari warungnya itu.  

Di rumah, suaminya adalah "raja". Jika ada sedikit saja yang salah -- yang remeh temeh, suaminya selalu menyalahkannya. Suaminya tak suka handuk yang basah habis dipakai mandi diletakkan anak-anaknya di sembarang tempat. Ia juga sebal melihat sepatu sekolah anak-anak yang berserak-serak tak karuan. Dan berkali-kali pula suaminya marah ketika mendapati tembok rumah dicoret-coret dengan spidol oleh Farah dan adiknya. Meta tak berani melawan.

Namun, meski begitu, saya melihat hal aneh ada pada diri Meta. Di depan orang, ia seperti ingin tampakkan bahwa hidupnya bersama suaminya itu sangat bahagia. Tidak ada masalah. Bercerita tentang yang baik-baik saja. Meta, saya pikir, adalah termasuk salah satu dari sedikit orang-orang "aneh" yang pernah saya jumpai.

Dua bulan yang lalu, saat terakhir saya bersama Frans menemuinya, Meta selalu tersenyum di depan kami. Saya tahu, senyumnya Meta adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas ia sedang menahan sakit. Karena kankernya itu.    

Melihat Meta, saya kerap merasa kasihan. Meski hidupnya ada dalam banyak tekanan dan sedang sakit parah, tetapi ia selalu berhasil "mengelabuhi" orang. Di depan banyak orang, Meta tampak seperti tidak sedang sakit. Kepada Frans, kakaknya, ia mengatakan ia tak ingin anak-anaknya, orang tuanya, dan orang-orang yang dicintainya menjadi sedih. Seumpama sebuah sinetron, Meta itu adalah pemain watak sangat ulung saya kira..lihai "memerankan" peran berpura-pura.  

Saya dan Frans kerap memberinya nasihat, agar ia beristirahat jika ia kelelahan, agar ia berobat rutin seperti yang dokter katakan dan menjaga kesehatan tubuhnya, toh Frans sudah mengatakan akan membantu biaya. Namun, tak satupun nasehat itu didengarnya.

Saya melihat, Meta adalah sosok sangat istimewa. Meskipun hidupnya sudah luluh lantak, tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas langit. Melihat dan mendengarkan kisah hidup Meta, saya segera teringat pada ayah saya ketika beliau masih hidup.

Tidak terasa, belasan tahun sudah saya belajar kepada ayahku tentang bagaimana beliau bisa hidup seperti Meta itu, "berpura-pura" di depan banyak orang. Saya sangat inagt, ketika saya masih kecil, kadang beliau rela untuk tidak pergi ke dokter, menahan sakit, demi agar uang yang seharusnya dibayarkan ke dokter bisa beliau simpan untuk kami, anak-anaknya. Ia tak pernah mengeluh, meski sebenarnya ada begitu banyak beban berat di pundaknya. Di depan hampir semua orang, beliau selalu bisa menunjukkan tak pernah memiliki masalah ..... padahal ...  tidak seperti itu lah kenyataan di rumah kami.  

Ayahku adalah tipikal orang-orang kecil jaman dahulu yang bisa begitu sempurna menyimpan rahasia, tidak pernah membuka aib keluarga dan mampu tersenyum dan tertawa meskipun hatinya sedang sakit. Orang-orang jaman dahulu itu selalu memikirkan bagaimana mereka bisa berbuat baik terhadap sesama, meski diri sendiri menjadi korbannya. Pelajaran sangat indah, tetapi sangat sulit saya kerjakan ....saat ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun