Golongan Putih, atau kerap kita singkat Golput, sudah lama ikut memeriahkan hiruk pikuk politik Indonesia. Predikat itu lekat ditempelkan kepada kelompok yang memposisikan diri mereka sebagai kelompok yang tidak menjadi pendukung kelompok politik manapun. Warna putih menjadi pilihan sebagai bentuk representasi sikap politik yang tidak berwarna, karena setiap partai politik itu bisa diidentikkan dengan warna.
Banyak faktor yang menjadi sebab mengapa seseorang mengambil pilihan golput. Bisa karena sedang bepergian, enggan mengurus surat-surat, tidak sreg dengan pilihan yang ada, atau mungkin karena tidak peduli. Apolitis.
Tetapi, bisa pula karena kecewa. "Tingginya golput bisa saja karena masyarakat kecewa terhadap pilihan yang ada," kata beberapa pengamat.
Tetapi, yang jelas, oleh beberapa kalangan, golput kerap disebut sebagai "cacat" atau kegagalan proses demokrasi.
Berdasar catatan yang saya sempat kumpulkan, pemilu 1977 hingga 1992 adalah pemilu paling sukses, jika angka golput dijadikan satu-satunya instrumen. Pada pemilu tahun 1977 hingga 1992, jumlah golput relatif sangat sedikit, yaitu di bawah 5 persen. Namun, setelah 1992, jumlah golput terlihat mulai menaik.
Pada pemilu 1997, angka partisipasi masyarakat masih lumayan bagus, yaitu 93,6 persen. Angka golput hanya 6,4 persen.
Selanjutnya, pada pemilu 1999, pemilu pertama setelah reformasi 1998, angka partisipasi masyarakat juga masih terlihat cukup besar yaitu  92,6 persen dan angka golput hanya 7,3 persen. Namun, sayang, setelah itu partisipasi pemilih terus menunjukkan tren menurun. Pada Pileg 2004 tingkat partisipasi hanya sebesar 84,10 persen. Penurunan berlanjut pada Pileg 2009 menjadi 70,7 persen.
Pada saat Pilpres 2014, angka golput malah sangat mengkhawatirkan, yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih. Namun, oleh KPU, ini disebutnya bukan angka yang buruk. "Partisipasi Pilpres 2014 sebesar 70 persen memang kalau dilihat tren nasional mengalami penurunan, tapi dalam perkembangan pemilu 70 persen bukan angka yang buruk," kata KPU.
Namun, bagaimanapun, saya kira, angka 30 persen itu bukan lah angka kecil. Jika Pilpres 2014 diikuti oleh 190.307.134 pemilih, maka jumlah golput 30 persen itu setara dengan 57 juta pemilih.
Padahal, jika kita merujuk hasil pilpres 2014 seperti yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum, Â pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan meraih kemenangan 70.997.85 suara (53,15 persen) versus Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara, terlihat sekali betapa sayangnya ceruk golput yang tidak terkelola dengan baik.
Jika saja, ya... jika saja Prabowo mampu merayu seperempat (saja) kelompok golput waktu itu, maka hasil akhir pilpres tentu saja akan sangat berbeda.