Di warung pinggir jalan, sambil menyantap habis kuliner seharga 6 ribu itu, aku seperti merekam semua cerita tentang Kudus. Cerita tentang kota dengan sejarah panjang kerukunan umat beragama sejak masa Sunan Kudus Sayyid Ja'far Shadiq dalam sepiring lentog.
Aku merekam sendiri suasana sangat akrab dan hangat antar penikmat lentog yang sangat berbeda-beda. Bagi saya pribadi, cerita kecil keakraban pagi itu seperti ulangan cerita ratusan tahun silam, jauh sebelum Pancasila dirumuskan, tentang unsur-unsur konstitutif masyarakat Kudus yang begitu menghargai keanekaragaman yang digaungkan sang Sunan.
Karena jasa-jasa sang Sunan itulah, maka, tidak salah jika Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kementerian Agama pernah menyebut Sunan Kudus sebagai Bapak Kerukunan.
Sekedar mengingatkan, Sunan Kudus adalah salah satu wali dari sembilan wali atau Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di kota Kudus. Ia menyebarkan Islam dengan penuh rahmat, dengan cara-cara yang mestinya bisa menjadi inspirasi membangun dan memelihara kerukunan umat dengan rupa-rupa agama, yang pernah koyak oleh beberapa gelintir orang dan kelompok.
"Berapa semuanya bu?"
"Sebelas ribu pak," jawab Ibu penjual lentog.
Setelah membayar aku bergegas pulang. Aku tak sabar ingin segera mengabadikan cerita tadi dalam artikel dan kata-kata yang mudah aku ingat: mudik, lentog, dan harmoni dalam keragaman.
Sumber foto: dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H