Mohon tunggu...
Taufik Winarno Nagoro
Taufik Winarno Nagoro Mohon Tunggu... -

Mengkritisi kesemrawutan kasat mata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ki Lurah Petruk Pambukaning (Gapuro), Goro-goro?

4 Juni 2015   17:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah judul sandiwara wayang yang diperankan dan ditampilkan di Kelurahan Banaspati. Ki Lurah Petruk yang digadang-gadang sebagai lurah ke-7 Kelurahan Banaspati dengan julukan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu, nampaknya jauh dari harapan. Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu adalah satria yang zuhud, sederhana, tegas, sakti (nglurug tanpo bolo dan mampu menghentikan luberan sawah milik Mbah Abu Bakir). Dan ciri-ciri satria tersebut adalah ciri-ciri satria yang muncul setelah ada goro-goro kubro (besar). Adapun ciri-ciri yang pas untuk kontek kekinian adalah Satrio Pambukaning Gapuro dimana satria tersebut memegang jabatan ketika pra goro-goro/goro-goro sugro/kecil. Ciri-ciri sebagai Satrio Pambukaning Gapuro, juga hampir sama dialami oleh Satria ke-6, yang memegang jabatan di masa pra goro-goro.

Perpecahan kongsi, perpecahan para elit, perpecahan kepentingan, sangat mewarnai di zaman pra goro-goro. Saling menyalahkan dan beradu argumen untuk mencari pembenaran masing-masing, menjadi warna-warni di zaman pra goro-goro. Kebenaran formal beradu kuat dengan kebenaran subtansial. Saling melempar dan menghindari bola panas dan sebagainya. Perebutan hak milik pohon belimbing, yang disengketakan oleh dua kubu yang saling bertikai, adalah contoh kongkrit di zaman pra goro-goro. Dualisme kepemilikan pohon belimbing menjadi ajang pertaruhan dan pertarungan nasib Kelurahan Banaspati ke depan. Sementara sesepuh/penasehat di Kelurahan Banaspati dalam menyikapi masalah ini, juga terbelah menjadi dua opsi, dengan kata lain memberi keputusan yang menggantung adalah menjadi pilihan yang dipilih untuk menghindari bola panas itu bergerak untuk menghampirinya. Sementara satu-satunya pihak yang paling siap menerima bola panas adalah murid Taman Kanak-kanak yang bersebelahan dengan panggung pementasan wayang. Dimana murid Taman Kanak-kanak tersebut sebelumnya sudah terbiasa bermain bola api panas, lempar kursi, adu jotos, menuding-nuding teman, teriak-teriak bukanlah pemandangan yang asih bagi murid Taman Kanak-kanak di Kelurahan Banaspati. Uang saku yang mereka peroleh tak menjadikan mereka puas dan riang seperti layaknya murid Taman Kanak-kanak yang lain. Murid Taman Kanak-kanak di Kelurahan Banaspati hanya hafal dengan dua lagu wajib dengan judul “Kamu Kawanku” dan “Kamu Lawanku”. Kegirangan murid Taman Kanak-kanak di Kelurahan Banaspati justru ketika ada bola panas menghampiri mereka.

Hawa panas bukan hanya di Taman Kanak-kanak tersebut, panggung pertunjukan yang bersebelahan dengan Taman Kanak-kanak juga tak luput dari hawa panas. Panggung pertunjukan yang menampilkan para dedemit itu didominasi oleh makhluk sundel bolong, wewe gombel, peri, vampir, dan tuyul. Pertunjukan para dedemit di Kelurahan Banaspati itu sudah diskenariokan oleh Sang Sutradara di belakang layar. Sehingga para dedemit/makhluk halus itu lebih mendengarkan instruksi Sang Sutradara/Dalang, ketimbang teriakan-teriakan penonton. Teriakan-teriakan para penonton yang didengar oleh para dedemit yang bermain di panggung, menjadikan pertunjukan di panggung jauh dari selera penonton.

Ketidaksinambungan antara lelembut/demit yang bermain di panggung dengan selera penonton yang menonton, menjadikan acara pertunjukan sangat membosankan. Melihat pertunjukan wayang yang diperankan oleh para lelembut, bagaikan melihat acara Dunia Lain. Dimana para pemain wayang dengan para penonton hidup di alam yang berbeda. Para lelembut lebih memilih arahan dan instruksi Sang Sutradara ketimbang teriakan-teriakan penonton. Para pemain lakon pertunjukan lebih memilih memoles wajah ketimbang menampilkan isi cerita yang bermutu. Para pemain lakon telah mengabaikan substansi cerita, menjadikan panggung terjadi kekisruhan. Dan puncak kekisruhan terjadi ketika bola panas menghampiri Taman Kanak-kanak yang bersebelahan dengan panggung. Bola panas yang menghampiri Taman Kanak-kanak, menjadikan acara pertunjukan semakin tidak menarik. Salah satu penonton yang naik panggung menggantikan para pemain sebelumnya menjadikan acara pertunjukan semakin mencekam. Salah satu penonton dari golongan Bocah Angon/Penggembala itu terpaksa memainkan lakon di atas panggung.

Goro-goro/ontran-ontran yang ketiga di Kelurahan Banaspati itu menjadikan Bocah Angon dari kalangan penonton itu mendadak dikenal publik. Bocah Angon yang akhirnya menampilkan lakon Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu itu akhirnya diikuti oleh jutaan bahkan puluhan juta semut rang-rang.

Empat puluh juta semut rang-rang hijau dan satu juta naga hijau bersatu kompak mendukung Bocah Angon untuk tampil di panggung pertunjukan memainkan lakon. Adegan peran di panggung yang dimainkan oleh Bocah Angon tidak disutradarai oleh siapapun. Yang menjadi sutradara adalah hati nurani. Munculnya Bocah Angon dari kalangan penonton yang tampil di panggung pertunjukan menjadikan banyak penonton kaget seolah tak percaya. Kemampuan mendatangkan puluhan juta semut rang-rang itulah yang akhirnya membuat banyak penonton takjub. Munculnya Bocah Angon di panggung menjadi mimpi buruk bagi para pemain panggung yang didominasi para lelembut. Kemunculan Bocah Angon, menjadikan para dedemit/lelembut was-was, gusar, lemas, dimana adegan sandiwara di panggung didahului dengan acara ritual penangkapan lelembut. Syarat-syarat/uborampe dalam penangkapan lelembut sudah tersedia seperti:

-       Dupo, menyan (asap???)

-       Gelap (samar-samar/ketidakpastian???)

-       Ada temannya (empat puluhjuta semut rang-rang hijau)

-       Sakti (nglurug tanpo bolo, tanpa membawa bendera warna apapun bisa menghentikan luberan lumpur sawah milik Mbah Abu Bakir)

Adegan penangkapan jenis lelembut yang paling dramatis dan paling mencekam adalah adegan penangkapan jenis tuyul pencuri uang dan vampir penghisap darah. Dua makhluk halus itu selama puluhan tahun menjadi parasit di Kelurahan Banaspati. Vampir yang tega menghisap darah semut rang-rang dan tuyul yang tega mencuri kas kelurahan akhirnya bernasib tragis di tangan puluhan juta semut rang-rang. Adegan penangkapan lelembut yang diamini atau direstui oleh Ki Lurah Petruk, akhirnya menjadi adegan yang legal (formal). Payung hukum dari Ki Lurah Petruk menjadikan Bocah Angon sangat leluasa dalam melakukan adegan penangkapan para lelembut tersebut. Dan adegan goro-goro yang ketiga/terakhir di Kelurahan Banaspati, menjadi satu-satunya adegan goro-goro dalam lakon pertunjukan yang melibatkan salah satu penonton, untuk tampil di panggung pertunjukan. Dan adegan munculnya Bocah Angon dari kalangan penonton menjadi penutup lembaran sejarah ontran-ontran/goro-goro yang terakhir, dimana siklus 40 tahun telah mendatangkan kengerian dua kali lipat dari siklus 20 tahun yang pernah terjadi. Setiap perputaran siklus mendatangkan orde/episode drama. Setiap siklus mendatangkan semut rang-rang, khususnya semut rang-rang berwarna hijau. Setiap siklus identik dengan kemunculan pria 44 tahun/45 tahun menjadi pemeran utama drama pertunjukan wayang. Dan bocah angon yang menjadi pemeran drama pertunjukan wayang itu, dijidatnya tertulis “Trisakti” yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu.

Wallohu a’lam.

 

NB : Tulisan di atas adalah cerita dari negeri dongen yang bersumber pada imajinasi belaka.

 

 

 

Taufik Winarno Nagoro

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun