Mohon tunggu...
TAUFIK WIBOWO
TAUFIK WIBOWO Mohon Tunggu... -

hanya mencari ruang untuk menuangkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Wartawan Antara Materi dan Ideologi

27 Desember 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama wartawan amplop sudah lama muncul. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sosok jurnalis yang datang ke sebuah undangan, meliput acara, dan kemudian mendapatkan amplop berisi uang. Baik itu acara yang dilakukan pihak swasta, instansi-instansi milik pemerintah, maupun acara yang “abal-abal”. Pengundang menyiapkan amplop berisi duit, begitu selesai acara amplop itu diberikan ke wartawan. Bahkan ada yang diberikan di awal. Begitu menandatangani buku tamu, wartawan mendapatkan goody bag plus map berisi pers rilis dimana terselip amplop.

Yang dikhawatirkan dari keberadaan wartawan ini adalah tertutupnya kebobrokan atau berita-berita yang penting untuk diketahui oleh masyarakat. Kekhawatiran ini sangat riskan terjadi di setiap pemerintahan daerah yang ada di Indonesia, terutama daerah yang jaraknya jauh dengan pemerintah pusat. Dengan adanya wartawan amplop ini membuat pemerintah daerah sangat leluasa dalm menyembunyikan kebobrokanya. Banyak contoh akibat dari buruknya wartawan amplop. Diantaranya yang masih hangat adalah lancarnya dinasti pemerintahan yang ada di banten. Dinasti pemerintahan yang ada di banten di prakarsai oleh keluarga Chasan Sochib sebagai otaknya.

Dinasti Banten keluarga Atut berawal dari sang ayah, Tubagus Chasan Sochib. Sang jawara Banten ini pernah berujar "Sayalah gubernur jenderal." Kalimat itu dilontarkan sang Jawara setelah Chasan mengantarkan pasangan Djoko Munandar-Ratu Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2001. Nama Chasan berkibar melalui perusahaan CV Sinar Ciomas yang didirikan pada1970-an. Perusahaan kontraktor itu cikal bakal PT Sinar Ciomas Raya yang sahamnya dimiliki keluarga besar Chasan. Proyek-proyek besar di Banten sudah pernah digarap PT Sinar Ciomas seperti pembangunan gedung dewan tahun 2006. Pelabuhan dermaga di Cigading pun digarap PT Sinar Ciomas. Pembangunan gedung DPRD Banten senilai Rp 62 miliar juga tidak lepas dari PT Sinar Ciomas. Chasan Sochib meninggal 30 Juni 2011. Namun, pamor keluarga ini belum luntur karena keluarga besarnya menduduki banyak posisi penting di pemerintahan maupun bisnis.

Kesuksesan mereka dalam menjalankan dinastinya tidak terlepas dari adanya wartawan amplop. Jika kita perhatikan media lokal yang ada di wilayah Banten jarang membertiakan menganai keburukan dari pemerintahan yang ada di Banten. Media-media disana jarang sekali mengkritisi keadaan-keadaan yang ada di Banten. Jika pun mereka memberitakan mengenai atut dan korupsinya, mereka menulisnya dengan suasana tulisan yang sangat santai.

Yang belum lama ini adalah adanya peristiwa unik tentang Ganjar Pranowo yang membuat kebijakan penghapusan amplop untuk wartawan. Gubernur Jawa Tengah ini mendapat applaus dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena kebijakannya menghapus amplop wartawan. Tapi belakangan kabarnya, sekelompok jurnalis senior yang tak senang dengan kebijakan itu, “menggebuki” Ganjar. Namun kata menggebugi disini bukan dalam artian secara fisik Ganjar di gebugi, melainkan di sudutkan melalui forum diskusi yang dilaksanakan di gedung PWI Jateng Jl Tri Lomba Juang, Semarang, pada Senin 25 November. Dalam diskusi tersebut diduga telah di setting untuk menyudutkanGanjar sebab yang dihadirkan dalam diskusi tersebut adalah orang-orang yang tidak akrap dengan Ganjar dalam arti lawan politik.Diskusi itu hanya menghadirkan satu narasumber yang bisa dibilang netral, setidaknya dari sisi latar belakang, yakni Pengamat Kebijakan Publik Undip Semarang Tri Cahyo Utomo. Sedangkan lainnya Wakil Ketua Fraksi PPP DPRD Jateng Abdul Azis, Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jateng Arif Eka Utama, dan Penasehat Forum Wartawan pemprov dan DPRD Jateng (FWPJT) Sunu AP.

Hal yang mengkrucutkan dan memperkuat dugaan diskusi ini adalah hasil setting lawan politik adalah PPP merupakan salah satu pengusung Hadi Prabowo, mantan Sekda yang jadi rival Ganjar di Pilgub Jateng 2008 lalu. KAMMI seperti kita tahu adalah organisasi mahasiswa yang “dekat” dengan PKS, salah satu pengusung Hadi juga. Dan FWPJT, sudah kadung dikenal sebagai organisasi wartawan di lingkungan Gubernuran yang berisi jurnalis atau mantan jurnalis senior, yang dekat dengan Hadi.

Adanya nama Hadi Prabowo sebagai benang merah sudah bisa dibaca bahwa penyelenggara dan hampir semua narasumber adalah bukan orang-orang yang “akrab” dengan Ganjar. Artinya, diskusi ini sudah disetting sejak awal sebagai forum curhat untuk orang-orang yang tidak suka Ganjar.

Kenyataan ini membuat semakin peliknya masalah kemunculan wartawan-wartawan amplop ini. Sebab jika kita melihat dari dua contoh kasus di atas dari kedua belah pihak seakan saling mendukung atas kemunculannya wartawan amplop ini. Dari peristiwa pertama kita melihat adanya peran pemerintah daerah yang menggunakan wartwan amplop untuk menutupi semua aib dan borok dari pemerintahan yang mereka pimpin, sehingga banyak praktek-prkatek haram disana. Dan dalam peristiwa kedua kita melihat bagaimana wartawan yang dalam hal ini sebagai pihak yang sekiranya jika pemerintah memerangi dan enggan memberi amplop kepada para oknum-oknum wartawan, malah balik menyerang pemerintahan yang memerangi praktek korupsi terselubung ini.

Dan jika kita melihat dari sudut pandang kesejahteraan dari seorang wartawan di daerah amatlah kecil, hampir rata-rata dibawah sejuta. Contoh seorang wartawan yang pernah bekerja di redaksi Jawa Pos surabaya sebut benny mengaku beralih menjadi wartawan sebab ia merasa gajinya tidak cukup untuk menhidupi keluargany sehingga ia memutuskan untuk beralih menjadi karyawan swasta.

Melihat semua contoh peristiwa diatas peran pemerintah dalam mengatur upah standart bagi para pekerja media haruslah diperhatikan, sebab jika ditelisik semua ini berawal dari ketidaksejahteraanya para pekerja media. Jika para wartawan di berikan upah yang layak mungkin para pencari berita tersebut akan memikirkan dua kali untuk memperjualkan ideologi mereka sebagai pilar ke 4 negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun