[caption id="attachment_212487" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (Tribun Batam/Iman Suryanto)"][/caption] Hari Jumat bukan harinya ke pengadilan, karena Pengadilan Negeri/Niaga/Perdata Jakarta Pusat itu tak biasa menggelar sidang pada hari tersebut. Namun, kemarin tentu bukan hari biasa. Saya biasanya libur pada Jumat, namun kali ini ada jadwal pembacaan putusan perkara permohonan pailit atas PT Telkomsel. Dalam pikiran saya dan beberapa teman wartawan lain, hakim tentu menolak permohonan itu. Sebelum jam 2 sore saya sudah di sana, mendahului pengacara Telkomsel yang datang kemudian dengan wajah sumringah sambil bertanya, "Apa putusannya." Tentu bukan pertanyaan serius, hanya sebuah sapaan hangat saja. Saya sendiri yang ditanya hanya tertawa, toh yang berperkara saja baru datang. Lorong di lantai dua gedung pengadilan itu sepi, hanya inilah satu-satunya sidang. Sementara sidang tilang biasanya di lantai 3. Majelis hakim yang diketuai Agus Iskandar masuk ruang sidang sekira pukul 3 kurang, saya tak pernah membawa arloji untuk memastikan menitnya. Pembacaan putusan itu berlangsung lama meskipun hakim hanya membacakan pokok-pokonya saja. Saya saja hampir tertidur, berkali-kali merunduk karena mengantuk. Tambah lagi, suara pak hakim yang pelan. Bahkan di pengadilan yang sepi, saya masih tidak bisa mendengar secara jelas suara hakim. Biasanya saya hanya mengutip setelah hakim mengatakan, "Mengadili....." Akan tetapi, sebelum sampai kata itu saya terkesiap mendengar pertimbangan-pertimbangan hakim. Utang yang berasal dari kewajiban menyediakan kartu perdana dan voucher Prima, terbukti. Adanya kreditur lain, terbukti. Memang tak sesederhana itu sampai kemudian hakim menyatakan mengabulkan permohonan pernyataan pailit dari pemohon atas termohon. Sayup-sayup saya mendengar bahwa utang dari kreditur lain sebenarnya sudah dibayar dan sudah dibuktikan ke hadapan persidangan. Sayangnya, bukti pembayarang itu dalam bentuk foto kopi. BLEH! Pikir saya... kecelakaan betul! Hakim berhak untuk tidak mempertimbangkan bukti dalam bentuk foto kopi, berdasarkan KUHAPerdata. Ya, sudahlah... Palu pun berbunyi setelah diputuskan PT TELKOMSEL DALAM KONDISI PAILIT berserta akibat hukum lainnya. Saya antara terkejut dan ingin tertawa, tapi tentu kami tidak boleh berisik di ruang persidangan. Telkomsel jelas bukan perusahaan kecil. Tapi memang, dalam perkara ini ada nuansa "keangkuhan," perusahaan besar. Pengacara Telkomsel amat yakin. Mungkin juga dia tidak memikirkan preseden beberapa hari sebelumnya yang sedikit "melukai" proses persidangan. Pada 10 September ketika kedua pihak menyerahkan kesimpulan, hakim Agus menyampaikan adanya surat keberatan yang disampaikan ke Ketua Pengadilan Niaga. Sebuah surat yang menegaskan keberatan atas proses pailit Telkomsel dari perusahaan itu yang ditandatangani oleh salah satu dari tim kuasa hukum termohon (telkomsel). "Apa maksud surat keberatan ini? Apa ada yang salah dengan proses persidangan?" tanya hakim Agus kepada Warakah Anhar, pengacara dari kantor hukum ASP, salah satu kuasa hukum termohon. Pengacara itu mengatakan baru mengetahui adanya surat itu saat disampaikan oleh hakim Agus. Padahal, di sana jelas ditandatangani oleh salah satu kuasa hukum termohon. Nama tersebut diakui sebagai bagian dari tim. Menurut pengacara pemohon (Prima Jaya Informatika), surat keberatan itu jelas sebuah bentuk intervensi dan itu melanggar etik. Saya yang tidak berlatar belakang hukum memang kurang mengerti soal etik berperkara dalam pengadilan. Akan tetapi, mendengar substansi keberatan tidak berbeda jauh dengan jawaban termohon, surat tersebut jelas suatu cela. Apakah kemudian hakim merasa diremehkan dan pada akhirnya mencari ruang untuk mempailitkan Telkomsel? Entahlah... Jelas bagi saya bahwa hakim mempertimbangkan putusannya berdasar pasal 2 ayat 1--itu juga kalau tak salah dengar--UU Kepailitan dan PKPU. Dua unsur yang diperyaratkan sudah terpenuhi yakni adanya utang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya kreditur lain. Janji adalah utang Hal lain yang saya suka dari proses persidangan ini adalah terminologi utang. Utang Telkomsel berasal dari kewajibannya untuk menyedikan kartu kepada Prima Jaya. Setahu saya, itu barulah sebuah janji. Janji ditragih berkali-kali dan sudah disomasi tetapi tidak pernah ditanggapi. Maka, janji itu diseret ke meja hijau untuk jadi utang. Pengadilan hari itu benar-benar merealisasikan ungkapan "janji adalah utang," bukan sebagai peribahasa melainkan sebagai hukuman bagi Telkomsel. Utang adalah kewajiban yang bisa dikuantifikasi dengan uang. Nah, baik juga apabila janji-janji politikus, calon-calon ketua, calon-calon presiden, itu dibuat hitam di atas putih agar kelak bisa dituntut di pengadilan apabila tidak bisa memenuhi. Mereka bisa dianggap berutang, jika ada kreditur lain tentu bisa dipailitkan... hahahahahak. Pengacara sama-sama terkejut Hal lain tentu saja adalah wajah terkejut yang juga diperlihatkan oleh pengacara Prima Jaya... Maksud hati hanya agar kliennya dibayar, eh malah menghasilkan putusan pailit. Bagaimanapun, Prima Jaya tidak memegang jaminan. Kanta Cahya, pengacara Prima Jaya, beberapakali mengatakan "sayang saja sampai pailit." Pertama kali bertemu di sidang perdana dia mengatakan bahwa permohonan pailit yang diajukan hanya sebagai shock therapy karena Telkomsel dianggap meremehkan kliennya yang perusahaan kecil. Dia mengungkapkan bahwa dalam proses persidangan hakim juga sudah meminta kedua belah pihak untuk bermusyawarah dan menyelesaikan persoalan baik-baik. Bahkan, sebelum dibacakan putusan itu, hakim lagi-lagi bertanya kepada kedua belah pihak apakah mau menyelesaikan atau dibacakan putusan. Keduanya geleng kepala. Telkomsel sebenarnya juga bisa mengajukan PKPU atau semacam restruturisasi, atau pendjadwalan pembayaran utang kepada Prima Jaya. Opsi ini tidak pernah diambil, mereka 100% yakin tidak memiliki utang kepada Prima Jaya. Ya, Â kewajiban yang didalilkan kan hanya dari sebuah janji hitam di atas putih... Telkomsel juga yakin, sesuai dengan jawaban yang disampaikan ke pengadilan, bahwa sebenarnya Prima Jaya lah yang pertama melakukan wanprestasi. Hal itu yang jadi alasan Telkomsel tidak melakukan kewajibannya untuk menyerahkan barang yang sudah dijanjikan. Prima Jaya belum bayar loh ke Telkomsel. Tapi, apalah mau dikata. Pemohon ternyata dapat membuktikan kepada majelis hakim soal dalil-dalilnya. Rudy Hartono Nah, ini satu lagi. Sebenarnya saya masih penasaran dengan reaksi Rudy Hartono, mantan pebulutangkis nasional, yang iktu dalam persidangan. Sayang sekali pada pembcaan putusan beliau tidak hadir. Rudy Hartono mewakili Yayasan Olahraga Indonesia, yayasan yang menandatangani MoU dengan Telkomsel soal penjualan Kartu Prima yang bergambar olahragawan. Sebagian keuntungan dari penjualan kartu prima itulah yang dijadikan sebagai dana yayasan untuk menyantuni pada mantan atlet nasional. Alasannya jelas, negara ini tidak memberi anggaran yang cukup bagi mantan atlet yang sudah mengharumkan nama bangsa. Apakah Telkomsel kualat? Entahlah... mungkin mantan atlet termasuk tipe yang teraniaya sehingga doanya terkabul. Hahahahaha.... Sudahlah, masalah kecil semua itu.... hiburan sajalah :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H