[caption id="attachment_177138" align="alignnone" width="640" caption="Bandara Internasional Lombok"][/caption]
Pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta pun mendarat dengan mulus di landasan pacu Bandara Internasional Lombok yang berlokasi di kawasan Lombok tengah ini. Dari kejauhan, terlihat bangunan terminal yang cukup megah dan memiliki dua buah garbarata. Untuk ukuran Indonesia, bandara yang diresmikan Presiden SBY pada akhir tahun 2011 ini cukup megah dengan arsitektur khas Nusa Tenggara Barat yang unik, yaitu Rumah Adat Sasak, suku asli NTB.
[caption id="attachment_177140" align="alignnone" width="357" caption="Selamat datang di Lombok"]
Akan tetapi, dibalik kemegahannya yang cukup mengesankan, siapa sangka, bandara ini memiliki banyak sekali kontroversi, baik dari segi penamaan, lokasi, masalah dengan penduduk setempat yang merasa memiliki lahan , pembayaran ganti rugi, keamanan, kedisiplinan, ketertiban, dan juga kepatutan sebagai suatu bandara bertaraf internasional. Pada mulanya ada beberapa nama yang diusulkan untuk menjadi nama Bandara ini, akhirnya Bandara Internasional Lombok lah yang dipilih.
[caption id="attachment_177141" align="alignnone" width="357" caption="Spanduk"]
“Untuk menghindari calo (pengangkut tidak resmi) anda dipersilahkan ke konter resmi taksi bandara dan bus”, sebuah spanduk berwarna biru langit menyambut saya di ruang kedatangan.Spanduk ini berlogo Angkasa Pura yang juga nampak menggunakan logo baru menunjukan bahwa bandara ini dibawah pengelolaan perusahaan plat merah itu.
Setelah ke luar terminal, terlihat kerumunan orang yang seakan-akan menyambut seluruh penumpang. Banyaknya jumlah penjemput tidak seimbang dengan jumlah penumpang yang kebetulan pada saat mendarat hanya ada sebuah pesawat Boeing 737 yang berkapasitas sekitar seratus dua puluh penumpang.
[caption id="attachment_177147" align="alignnone" width="640" caption="Suasana yang ramai di terminal kedatangan"]
“Mereka menunggu kerabat yang kedatangannya tidak diketahui jadwalnya” demikian penjelasan teman yang memang bertugas di BIL atau Bandara Internasional Lombok ini. Jadi karena mereka berdatangan dari seluruh seantero pulau Lombok, ketika mendengar berita akan ada kerabat atau famili yang akan kembali ke Lombok pada hari ini, maka para penjemput akan stand by sejak pagi dan menunggu setiap pesawat yang mendarat, tidak perduli kedatangan orang yang ditunggu mungkin pada sore atau malam hari. Pantas saja ruang kedatangan selalu tampak ramai bak pasar malam.
[caption id="attachment_177143" align="alignnone" width="360" caption="Tenda biru di samping terminal"]
Sambil menunggu kendaraan, saya melihat-lihat kawasan di luar terminal. Di kejauhan tampak sebuah bus Damri yang bisa membawa penumpang ke pusat kota Ampenan atau Mataram. Yang menarik lagi persis di sebelah gedung terminal terdapat deretan lapak dengan tenda berwarna biru yang menjual makanan, minuman dan barang-barang lainnya. Terlihat sangat kumuh dan kontras dengan kemegahan bandara ini.
[caption id="attachment_177148" align="alignnone" width="360" caption="Bus Damri"]
Sementara di area luar terlihat kawasan parkir mobil yang luas, namun tampak tidak terlalu banyak kendaraan yang parkir. Maklum luas lahan bandara ini yang konon sekitar 550 hektar memang dipersiapkan untuk perkembangan sampai sekitar duapuluh tahun mendatang. Di tepian balai kedatangan juga tampak beberapa buah taksi yang berbaris rapi menanti penumpang.
[caption id="attachment_177146" align="alignnone" width="360" caption="Kantor yang Sepi"]
“Wah , saya kira siapa yang mencari saya” demikian ujar tuan rumah ketika menyambut saya di kantornya. Dia juga menjelaskan bahwa harus hati-hati menerima tamu karena banyaknya penduduk sekitar bandara yang datang hanya untuk menyerahkan surat lamaran pekerjaan.
Menurut kolega saya itu, karena merasa memiliki lahan bandara ini, ratusan penduduk mencari pekerjaan di kawasan bandara dengan cara setengah memaksa. Ketika dijelaskan bahwa pekerjaan di bandara memerlukan keahlian dan pendidikan khusus, sementara latar belakang pendidikan mereka kebanyakan tidak memenuhi syarat, mereka pun bahkan bersedia ditempatkan dimana saja asal bekerja.
[caption id="attachment_177150" align="alignnone" width="355" caption="kompleks bandara"]
Hal ini cukup dimaklumi, karena keadaan ekonomi di Pulau Lombok, terutama di sekitar lokasi bandara memang cukup memprihatinkan. Keadaan tanah yang kering dan kurang subur, menyebabkan pertanian kurang menghasilkan dan perekonomian yang kurang berkembang juga menimbulkan banyaknya pengangguran. Untungnya duniawisata yang mulai berkembang bisa sekedar memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik.
“Mereka mencari pekerjaan dengan sangat gigih dan kalau dijelaskan tidak ada lowongan, mereka tetap ngotot meminta pekerjaan apa saja”.Demikian tambah kolega tadi, dan lucunya mereka juga mau penjadi petugas kebersihan, atau tenaga sejenisnya, namum mereka menuntut gaji yang tidak masuk akal. Bahkan ada yang menunjut gaji sekitar 5 juta untuk posisi cleaning service?
[caption id="attachment_177152" align="alignnone" width="357" caption="Sebuah Masjid di Bandara"]
Alasan mereka adalah,karena bandara ini kelihatan sangat megah dan besar, karena itu walaupun hanya sebagai tukang sapu, maka gajinya pun harus besar.! Selain itu, rasa iri juga menghantui mereka karena melihat hampir semua yang bekerja di bandara megah ini adalah para pendatang.
Ketimpangan sosial seperti ini akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang maha besar bagi kita semua untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, dan tentu saja tingkat pendidikian yang lebih baik. Tidak saja di Lombok, namun di seluruh pelosok negri tercinta ini. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H