Mencari masjid, wajib hukumnya bagi saya setiap berkunjung ke suatu kota atau negara, Dan karena itu, kami pun mengarahkan kendaraan ke kawasan Nyamirambo yang terletak di sebelah baratdaya kota Kigali. “Di sini lah terdapat kawasan muslim dimana terdapat masjid dan juga Islamic Centre dan sekolah Islam”, tambah Jean Claude dengan santai.
Ketika sampai di Nyamirambo, terlihat suasana yang agak sedikit berbeda dengan di pusat kota Kigali. Terlihat banyak penduduk lokal yang lalu lalang dan berpakaian muslim, wanita dengan kerudung yang bewarna-warni dan terlihat pula sebuah masjid dengan menaranya yang dicat dengan kombinasi wana hijau dan putih. Tidak jauh dari masjid ini terdapat sebuah Bank BCR (Banque Commercial du Rwanda) cabang Nyamirambo dan sebuah pangkalan ojek yang memiliki nama keren “Taxi Motto Parking”.
Namun kendaraan kami tidak berhenti di masjid yang memiliki menara hijau putih tadi tetapi terus melaju menuju ke sebuah tempat yang namanya Centre Culturelle Islamique Kigali. Di pintu gerbang, seorang satpam berbicara dulu dengan Jean Claude sebelum mengijinkan kendaraan kami masuk ke halamannya yang luas. Rupanya mereka menanyakan tujuan kami., Ketika mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia, maka kendaraan pun dipersilahkan masuk.
Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan-jalan sejenak di halaman dan melihat ke sekeliling. Selain masjid terdapat juga sebuah bangunan besar berlantai dua yang bewarna putih dan sebuah lapangan olah raga yang cukup luas dengan warna tanah yang khas kecoklatan. Bangunan ini ternyata merupakan sebuah rumah sakit.
Yang menjadi pusat kegiatan di Islamic Centre ini adalah sebuah masjid yang megah dan cukup besar dengan sebuah menara yang tinggi bewarna putih dan kubah besar yang bewarna coklat muda. Sebagian besar dinding masjid ini bewarna putih , namun pintu masuk dan tiang-tiangnya dihiasi dengan relung-relung indah bewarna coklat muda.
Di dekat pintu masjid terlihat sebuah mobil bewarna silver, beberapa tanaman perdu dan juga sebuah pohon jenis palma yang banyak terdapat di Timur Tengah dan Afrika. Di tangga masjid , ada seorang jemaah yang tampak sedang duduk di tangga masjid. Sekilas dia tampak penduduk lokal Rwanda.
Sementara itu, dari dalam masjid, terdengar suara anak-anak yang ramai sedang belajar membaca Al-Quran. Ah , betapa damainya hati di tengah-tengah suasana yang sangat akrab di telinga bagaikan di kampung halaman di Indonesia. Namun kali ini, saya berada nun jauh di pedalaman benua Afrika!.
Akhrnya saya pun berkenalan dengan jemaah tadi setelah saling mengucapkan salam . Berdasarkan ceritanya dapatlah diketahui bahwa Islam memang merupakan agama yang hanya dipeluk oleh sebahian kecil penduduk Rwanda dan baru mengalami perkembangan yang pesat setelah kejadian yang memilukan dalam sejarah Rwanda. Kejadian genosida pada tahun 1994 yang telah meminta korban hampir satu juta orang dan hanya menyisakan sekitar 15 persen penduduk suku Tutsi.
“Pada saat genosida, pembantaian terjadi disemua tempat bahkan di tempat ibadah seperti di Nyamata dan Ntarama”, demikian cerita jemaah yang tak mau disebutkan namanya itu. Kedua gereja tersebut sekarang juga sudah dijadikan memorial centre untuk memperingati peristiwa yang kelam itu.
Jemaah yang saya kenal ini pada saat kejadian genosida mendapat perlindungan dari orang-orang Muslim yang sama sekali tidak dikenalnya dan disembunyikan di masjid dan rumah-rumah mereka. Akhirnya , teman kita ini pun memeluk Islam . Menurutnya, di Rwanda, setelah genosida banyak penduduk yang memeluk Islam baik dari suku Tutsi maupun Hutu. Di masjid-masjid inilah keduanya bersatu dalam iman dan kepercayaan yang sama sambil mencoba melupakan sepenggal sejarah Rwanda yang menakutkan dan berdarah itu.
Saat ini, sekitar 12 persen penduduk Rwanda memeluk agama Islam dan berasal dari seluruh etnis yang ada di Rwanda. Ternyata Islam telah membawa secercah pengharapan dan ikut menyumbang perdamaian di negri indah yang memiliki julukan negri seribu bukit dan sejuta senyum ini.
Sebelum meninggalkan masjid dan Islamic Centre in, saya sempat bermain-main dan befoto bersama dengan anak-anak Rwanda yang manis dan lucu. Yang membedakan kita hanyalah warna kulit dan bentuk rambut. Namun sesama manusia , kita memiliki perasaan dan keinginan yang sama akan kedamaian dan perdamaian.
Sepotong senja yang tidak terlupakan dan sangat mengharukan di ibukota Rwanda yang indah.
Kigali , November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H