[caption id="attachment_174310" align="alignnone" width="360" caption="Cuba Street"][/caption]
Mengembara di pusat kota Wellington, khususnya di daerah CBD atau Central Business District yang daerahnyatidak terlalu luas sehingga masih dapat dijangkau dengan jalan kaki memang cukup menarik. Tentu saja harus dilakukan di saat hari masih siang, karena setelah jam 5 sore, toko-toko dan kantor sudah tutup, sehingga jalan-jalan itu pun menjadi sepi, dan hanya tinggal restoran dan café saja yang mengisi kehidupan malam di ibu kota Selandia Baru ini.
Salah satu tempat yang juga termasuk dalam “ten things to do in Wellington” adalah Cuba Street yang terletak tidak begitu jauh dari water front Wellington.Dari ujung utara saya memasuki Cuba strret melalui Wakefield Street yang tidak terlalu jauh dari Museum “Te Papa” dan perjalanan menyusuri Cuba Street atau disebut juga“Cuba Mall” pun di mulai.
Berdasarkan peta yang ada , jalan yang khusus diperuntukan bagi pejalan kaki atau “pedestrians only” ini akan melewati beberapa persimpangan mulai dari Manners Street yang cukup ramai dan sampai sedikit mendaki dan berakhir di Webb Street.
Potongan pertama Cuba Street antara Wakefield Strret dan Manner Street tidak terlalu banyak dipenuhi toko atau restaoran. Bahkan kebanyakan bangunan di situ tampak sedang direnovasi dan hanya ada beberapa toko yang buka dan tampak sepi pengunjung. Di tengahnya masih tersisa sedikitjalan aspal yang masih bisa dilewati kendaraan dan sepeda.
Selepas Manner Street, barulah Cuba Mall yang sesungguhnya dimulai. Sebuahpapan bertuliskan “Cuba” dan sebuah bintang merah menjadi penanda dimulainya Cuba Mall. Di papan itu tertulis semua yang ada di Cuba. Mulai dari acupuncture, antique, arts, sampai dengan tattoo, technology, travel, vinyl dan masih banyak lagi tersusun rapi berdasarkan abjad. Namun yang paling terpenting adalahditempat kita bisa menyaksikan “the most fascinating mix of people in the country”.
[caption id="attachment_174312" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu sudut Cuba Street"]
Di Cuba street ini, kita memang bisa menyaksikan apa saja dan juga siapa saja. Bahkan di tempat ini, banyak sekali terdapat kumpulancafé, restoran, toko buku, butik, toko fashion, musik, galeri seni . Tempat ini juga sangat menarik untuk dikunjungi karena banyak tersedia kursi taman dari kayu dimana kita dapat duduk bersantai sambil menyakasikan para pejalan kaki yang lewat.
Saya terus meyusuri jalan ini. Tidak terlalu terjauh dari Manners Street, saya menemukan sebuah plakat batu . Ternyata plakat ini merupakan peringatan diresmikannya Wellington pada tahun 1995 sebagai salah satu ibukota perdamaian .
“There shall come a time whenthis world of ours will be flooded with peace. Who is to bring about this radical change? It will be you; you and your sisters and brothers.You and your one-ness heart will spread peace. Through out the length and breadth of the world.” Sri Chinmoy.
[caption id="attachment_174313" align="alignnone" width="640" caption="Wellington World Capital of Peace"]
Demikian kata-kata mutiara yang ditorehkan pada plakat batu yang berlatar belakang warna biru laut itu. Sri Chinmoy sendiri ternyata seorang guru spiritual yang berasal dari India dan juga penggagas perdamaian dunia. Selandia Baru sendiri merupakan sebuah negri yang dinyatakan bebas nuklir, karenanya Wellington pun dinobatkan sebagai salah satu ibukota perdamaian dunia pada 1995 oleh tokoh yang pernah dinominasikan sebagai pemenang hadiah nobel perdamaian pada 2007 ini.
Saya terus berjalan, mendekatidaerah Mid Cuba. Di tempat ini suasananya agak sedikit berubah. Masih terdapat sisa-sisa tempat yang konon di akhir abad ke duapuluh atau sekitar tahun 1980-an, pernah menjadi pusat kawasan “lampu merah” di Wellington. Dulu di kawasan ini pernah menjamur penggiat kehidupan lain yang dianggap kurang baik oleh masyarakat seperti pelacur, dan juga kumpulan bar-bar dan serta para pengemis maupun gelandangan. Namun sore itu kawasan ini tampak sangat sepi.
[caption id="attachment_174314" align="alignnone" width="640" caption="Homeless people"]
Saya terus kembali berjalan dan di suatu tempat saya menyaksikan seorang gelandangan yang hanya duduk bersandar di dekat etalase toko yang isinya merupakan kumpulan pakaian dan mode merek kelas atas. . Kelihatannya pria berumur 30 tahunan ini tampak lusuh. Rambut pirangnya tampak gondrong dan wajahnya ditutupi kumis dan brewok yang tidak terawat. Jaket tua berwana coklat tua dan celana panjang berwarna krem serta sepatu berwarna coklat melindungi tubuhnya dari cuaca yang cukup dingin di senja di Cuba Street. Sebuah botol plastik minuman ringan yang tampak kosongbertengger di dekat paha kirinya.Sangat ironis dengan fakta bahwa Selandia Baru merupakan salah satu negri termakmur di belahan dunia selatan.
[caption id="attachment_174315" align="alignnone" width="640" caption="Pengamen Perlente"]
Tidak jauh dari sang gelandangan ini, terdapat seorang pengamen , anak muda berkacamata yang tampak perlente. Tubuhnya bahkan sedikit gemuk. Dengan riang dia memainkan sebuah lagu pop sambil memetik gitar. Di kakinya juga bersandar sebuah biola. Sebuah tas gitar berwarna hitam terlihat tergolek dalam keadaan terbuka sekaligus menjadi tempat para pejalan kaki memberikan sebagian uang receh berupa uang logam dollar New Zealand.
[caption id="attachment_174317" align="alignnone" width="640" caption="Gadis Pengamen Berambut Pendek"]
Sementara di dekat sebuah taman air mancur di Cuba Street ini, terdapat lagi seorang gadis pengamen. Tampak bertelanjang kaki dan hanya mengenakan T shirt lengan pendek berwarna hitam dan juga celana panjang jin berwarna gelap. Wanita berumur dua puluh tahunan ini berambut model crew cut, berkaca mata hitam dan kulitnya sangat putih cerah dan tampak bersih. Gitar ditangan nya terus dipetik sambil mendendangkan lagu-lagu bernada riang. Sementara sebuah topi pet coklat tua diletakkan di lantai dekat kakinya untuk menampung uang receh.
Berjalan-jalan di Cuba Strret yang disebut juga Cuba Mall di jantung kota Wellington ini memang cukup mengasyikan. Selain berbelanja, membeli souvenir, minum kopi di Café datau makan di restoran. Kita juga dapat melihat lebih banyak orang dengan segala macam pernak-pernik permasalahannya yang ikut memperkaya jiwa kita. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H