Setelah beristirahat semalam di Karatu, perjalanan dilanjutkan menuju ke Ngorongoro Conservation Area melalui jalan raya yang mulus, sedikit berliku karena menadaki pegunungan, dan sekali-kali terlihat juga kendaraan bajaj, gerobak, sepeda, atau pun suku Maasai yang berjalan kaki sambil membawa tombaknya yang khas.
“Karibu Eneo La Hifadhi Ya Ngorongoro” demikian tertulis dalam Bahasa Swahili di pintu gerbang masuk salah satu taman nasional paling terkenal di
Tanzania ini. Di bawahnya tertulis terjemahannya dalam Bahasa Inggris
“Welcome to the Ngorongoro Conservation Area.” Perjalanan di Tanzania, memang suatu perjalanan yang tidak biasa, perjalanan memburu dan mencoba berteman dengan hewan-hewan liar di alamnya yang natural, di mana manusia hanya menjadi tamu. Karena nya sementara Jummanne menyelesaikan urusan administrasi, kami masuk ke ruang tunggu yang di atas gerbangnya berhiaskan ukiran Badak Afrika.
Di sini, kita bisa mendapatkan informasi mengenai sejarah terbentuknya Kawah Ngorongoro yang konon berasal dari letusan gunung berapi puluhan juta tahun yang lalu dan kemudian menjadi habitat satwa liar Afrika, lengkap dengan sebuah danau yang cantik dan juga kemudian dihuni oleh ksatria terkenal dari Afrika Timur, yaitu orang-orang Masaai yang banyak dijumpai di kawasan ini.
Kita juga berkenalan dengan istilah “The Big Five”, yaitu satwa liar yang paling sukar diburu seperti singa atau simba, gajah atau tembo, Kerbau Afrika atau nyati mbogo, macan tutul atau chui, dan badak atau kifaru mweusi. Nama-nama hewan dalam Bahasa Swahili ini saya pelajari dan catat berdasarkan penuturan Jummane, sang pengemudi yang merangkap guide.
Perjalanan dimulai dengan mendaki ke puncak melalui jalan tanah yang diperkeras dan sedikit licin akibat bekas hujan semalam, di sepanjang jalan, kami diperkenalkan dengan berjenis-jenis pepohanan khas Afrika yang bentuknya unik dan menarik. Sayangnya saya tidak ingat lagi nama pohon-pohon tersebut. Di antaranya adalah pohon yang batangnya sangat tinggi dan hanya memiliki sedikit dedauan di puncaknya.
“Sebelum ke kawah, ayo mampir ke perkampungan suku Masaai”, ajak Jumanne sambil membelokan kendaraan melalui sebuah jalan sempit yang sedikit menanjak dan berliku. Kami kemudian tiba di sebuah kampung Suku Maasai yang memang sudah ratusan tahun ada Kawah Ngorongoro ini. Di sini, ada sebuah toko kecil dimana kita bisa membeli “Shuka”, selimut khas suku Maasai yang umumnya bermotifkan kotak-kotak dengan warna yang cerah menyala.
Lihat Travel Story Selengkapnya