[caption id="attachment_171462" align="alignnone" width="357" caption="Pintu Masuk Te Papa"][/caption]
Wellington, sekali lagi merupakan ibukota negriSelandia Baru yang tenang dan aman. Dan kota ini dipenuhi juga oleh banyaknya museum-museum yang cantik dan yang terpenting adalah hampir semuanya dapat dikunjungi dengan gratis. Dan unutk sementara, bolehlahkita melupakan kepadatan dan kemacetan Jakarta.
Dari hotel saya di kawasan Wakefield Street, cukup berjalan kaki sekitar tiga menit melewati Taranaki street dan kemudian belok kanan di Cable street. Dari kejauhan sebenarnya gedung museum yang berlantai enam ini sudah kelihatan megah dan juga menjadi salah satu ikon kota Wellington.
“It is a must see when you are in Wellington”,resepsionis di hotel saya menyarankan saya untuk pergi ke museum ini sebagai tujuanpertamadalam lawatan ke kota yang disebut “The coolest little Capital in the world” ini.Dan kebetulan buku Official Travel Guide yang saya dapatkan di lobby hotel juga memuat tempat ini sebagai nomer satu di antara top ten things to do in Wellington.
[caption id="attachment_171463" align="alignnone" width="360" caption="Te Papa - Our Place"]
Sesampai nya di halamannya yang luas, sebuahtugu berbentuk bilah menyambut saya. Tertulis dalam warna putih berdasar hijau dengan besar “Te Papa”. Sementara di bawahnya tertulis terjemahannya dalam Bahasa Inggris yaitu “Our Place”. Di halaman yang luas ini juga dengan gagah berkibar beberapa buah bendera kebangsaan New Zealand yang berwarana biru dengan Union Jack kecil di sudut kiri atas dan empat buah bintang berwarna merah putih menghiasi bendera ini. Sementara bangunan klasik Circa Theater juga berada di sekitar Bangunan megah ini, seakan-akan ikut menghiasi halaman museum ini dengan manisnya.
[caption id="attachment_171464" align="alignnone" width="360" caption="Bendera NZ"]
Saya berjalan perlahan menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca dengantukisan “Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa” di atas pintu masuk tersebut.“Nau Mai, haere mai”, seorang pegawai wanita berusia hampir 60 tahunan menyambut saya dengan ramah. Artinya kira-kira “Halo, selamat datang”.Wanita itu kemudian memberikan sebuah brosur yang berisi panduan kunjungan secara gratis sambil bertanya : “Where are you from?”Ketika dijawab, Indonesia, wanita tersebut masih bertanya lebih jauh lagi nama kotanya.Dan ketika dijawab Jakarta,maka dia pun berkomentar menyatakan bahwa Jakarta adalah kota yang sangat besar dan luas. “ What a big big city “. Katanya sambil tersenyum.
Saya kemudian menaiki eskalator menuju lantai dua setelah sebelumnya menitipkan ransel bawaan saya.Dan dimulailah pengembaraan selama sekitar tiga jam menikmati sebagian isi museum yang terdiri dari enam lantai ini.
[caption id="attachment_171465" align="alignnone" width="360" caption="Elang dan Emu"]
Di lantai dua, yang meanrik perhatian saya adalah dipamerkannya kekayaan fauna New Zealand yang meliputi bermacam-macam satwa baik di darta laut dan udara, Sebuah film 3D bercerita tentang kehidupan gurita di dalam air. Selain itu juga dipamerkan sebuah Gurita Raksasa.
Selain itu, sebuah pameran mengenai dashyatnya gempa bumi yang sering terjadi di negri ini juga membuat kita sadar bahwa negri yang indah ini pun rentan terhadap gempa bumi dan bencana alam lainnya. Selain gempa bumi yang baru saja tahun 2011 terjadi di Christchurch, juga dipamerkan tentang gempa bumi hebat yang melandaTarawera pada 1886.Dan yang paling menarik adalah penjelasan tentang EQC atau Eatrhquake Commission yang merupakan suatu badan pertanggungan yang memberikan perlindungan asuransi bila terjadi gempa bumi.
[caption id="attachment_171466" align="alignnone" width="360" caption="Treaty dalam dua bahasa"]
Di dalam museum ini, kita juga dapat belajar sejarah terbentuknya New Zealand sebagai sebuah negara dan bangsa. Perjanjian Waitangi atau Treaty of Waitangi yang ditandatangani pada 6 February 1840 merupakan cikal bakal terbentuknya negara ini. Pada perjanjian itu diakuilah orang Maori sebagai pemilik resmi dan sah tanah Selandia Baru dan juga sekaligus hak mereka sebagai“British Subject”.
Menariknya, perjanjian yang ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Maori ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam dua versi tersebut. Versi Maori dibuat lebih memihak bangsa Maori, sedangkan versi Inggris dibuat dengan tujuan untuk membuat tanah New Zealand atau Aoteaora sebagai tanah jajahan Inggris. Dua versi perjanjian itu pun dipamerkan di sini.
Masih banyak pameran menarik di dalam museum ini yang kalau mau dikunjungi semua tidak akan habis dalam dua hari, namun tempat yang menarik lagi adalahTe Marae, yang terletak di lantai empat. Tempat ini merupakan tempat bekumpulnya suku Maori dan dirancang dengan indah penuh hiasan yang menampilkan keindahan seni bangsa Maori.
Setelah lebih tiga jam, dan sempat juga mampir ke wharepaku atau toilet, maka sayapun kembali turun ke lantai dasar, mengambil tas yang dititipkan dan kemudian meninggalkan museum Te Papa yang di sebut sebagai Tempat Kami oleh orang New Zealand.
[caption id="attachment_171468" align="alignnone" width="640" caption="kata-kata bijak"]
Sambil berjalan menyusuri “waterfront” kota Wellington saya pun termenung akan arti sebuah museum, yang menyimpan kekayaan seni, budaya, keindahan alam dan juga keganasan sejarah. Benarlah sebuah pesan oleh seorang pemimpin bangsa Maori yang tetulis di dalam museum ini:Nga Toki heke!, Maringi Kino E Toha Ma Ra, Te Whenua Pamamaoyang artinya : Blood was shed! Spilt and Scattered, in a Distant Land.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H