Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Naik Ojeg Sepeda ke Masjid Fantasi di Dala - Yangon

12 Juli 2015   15:29 Diperbarui: 12 Juli 2015   15:34 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Yangon, kota terbesar di Myanmar dan mantan ibu kota negeri yang dulunya bernama Burma merupakan kota yang dalam tahap perubahan besar. Di sini, pagoda, bangunan kolonial serta penduduk lokal yang sebagian besar masih memakai sarung khas Myanmar yang disebut “long yi” hidup dengan damai bersamaan dengan bangunan-bangunan perkantoran dan hotel yang baru dan modern.


Siang itu, saya naik taksi langsung menuju dermaga Pansodan. Lokasinya tidak jauh dari Strand Hotel, salah satu hotel peninggalan kolonial Inggris yang paling kondang di Yangon. Tujuannya adalah menyeberangi Sungai Yangon ke Dala Township yang merupakan sebuah kawasan yang masih secara gamblang mempertontonkan sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan di Myanmar.


Berbeda dengan masyarakat lokal yang mengantri tiket dengan hanya membayar harga 100 Kyat, sebagai orang asing, saya diantar ke kantor dan membeli tiket pulang-pergi seharga 4 USD. Kalau dhitung-hitung, harganya lebih dari 20 kali harga lokal.

Ratusan penumpang dengan bergegas naik ke ferry. Suasana sangat ramai. Selain penumpang, puluhan pedagang asongan juga ikut menghangatkan perjalanan lengkap dengan berbagai macam barang dagangan. Di celah-celah kursi kayu, ada juga sepeda ikut naik ferry dengan membawa belasan ayam hidup di boncengannya. Sementara, di salah sudut kabin, ada sebuah toilet yang diperuntukkan khusus bagi biksu Buddha dan orang asing.


“Where are you from?” seorang pemuda berusia sekitar 25 tahunan, bersarung long yi warna coklat tua dan mengenakan kemeja kotak-kotak warna coklat lengan panjang dan bertopi oranye tiba-tiba menegur ketika saya sedang asyik menikmati pemandangan kota Yangon di seberang sana. Percakapan kami terus berubah dalam bahasa Melayu ketika tahu saya berasal dari Indonesia. Pemuda tadi menawarkan untuk tur naik ojeg sepeda ke beberapa tempat menarik di Dala, termasuk ke desa Tsunami, Pagoda dan juga sebuah masjid.


HanyaSekitar 15 menit berlayar, kapal ferry merapat di Dala. Suasana ramai dengan orang-orang yanng menawarkan angkutan umum termasuk becak sepeda. Akhirnya saya sepakat untuk ikut tur ke beberapa tempat tadi selama kurang lebih dua jam saja. Sang pemuda pun pamit setelah saya kasih tip 1 USD saja.


Berusia masih sekitar dua puluh lima tahunan, mengenakan longyi warna ungu dan kaus kuning, tukang ojeg sepeda mempersilahkan saya naik ke singgasana yang ada di samping, sementara dia mengendarai sepeda memlalui jalan-jalan di Dala yang kondisinya secara umum kurang baik. Kebetulan, ada seorang gadis berambut panjang yang sedang mengendarai sepeda sambil memegang payung dan juga sepeda motor yang dilarang di Kota Yangon.


Kami melewati pasar berupa jalan sempit dengan penjual yang menjajakan barang dagangannya di tepi jalan. Suasananya sedikit semrawut namun tetap eksotis seakan-akan waktu berhenti di pertengahan abad kedua puluh. Pejalan kaki, tukang becak atau ojeg sepeda, wanita penjual semuanya memakai pakaian yang sederhana.


Tujuan pertama adalah sebuah Pagoda bernama Shwe Sayan yang merupakan pagoda paling besar dan mashur di Dala. Yang menjadi daya tarik utama pagoda ini adalah mumi seorang biksu yang konon matanya bisa berkedip dan meramalkan kedatangan taifun yang mematikan.


Perjalanan dengan ojeg becak sepeda terus berlanjut. Si tukang terus bercerita bahwa dia punya tiga orang anak yang masih kecil dan bersekolah di sekolah dasar. Sarung longyinya sesekali bergeser dan harus dirapikan sambil sejenak beritirahat. Cukup melelahkan baginya untuk mengayuh sepeda dengan beban tubuh saya yang cukup berat. Apalagi melalui jalan-jalan yang kondisinya kurang baik.


Selain pagoda dan pasar, di sepanjang jalan kami juga melalui sebuah gereja dan kuil Hindhu. Rumah-rumah sederhana dan terkesan kumuh banyak dijumpai di perkampungan yang dilewati. Sang tukang ojeg bahkan bisa mengetahui apakah pemiliknya seorang pemeluk Buddha, Hindhu, atau Nasrani dengan hanya melihat rumah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun