Singapura, negri kota yang menjadi negara tetangga terdekat tanah air ini memang menyimpan sejuta daya tarik.Namun yang pertama kali terbayang adalah betapa kosmopolitannya negri ini. Selain itu, karena dominanya etnis Cina, kita sering membayangkan Singapura sebagai negri Cina ketiga setelah Cina dan Taiwan. Namun, perjalanan saya kali ini membuktikan bahwa masih ada pernak-pernik budaya Melayu yang ikut meramaikan dan memperkaya budaya Singapura.
Selepas sholat magrib di Masjid Sultan yang merupakan salah satu masjid terbesar di kota Singa , saya sempatkan berjalan-jalan di kawasan sekitar masjid. Langit sudah mulai menggelap dan sepotong jalan yang bernama Bussorah Street pun sudah berubah menjadi jalan yang hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan banyak tempat makan di ruang terbuka.
Di ujung jalan yang bersimpangan dengan Beach Road terdapat sebuah panggung terbuka dan juga ada alat-alat musik serta serombongan muda-mudi berpakaian tradisional Melayu yang berwarna-warni. Mereka sedang bersiap-siap untuk mengadakan pertunjukan tarian dan musik. Sekali-kali beberapa lagu berirama Melayu berkumandang di sepanjang jalan ini membuat suasana kota Singapura benar-benar memiliki nuansa Melayu yang santai dan riang.
Kami segera mampir di salah satu rumah makan dan mengambil tempat duduk di ruang terbuka tidak jauh dari panggung.Salah seorang pemuda kemudian mengumumkan dalam Bahasa Melayu dan Inggris bahwa pertunjukan tarian dan musik akan segera dimulai pada pukul 20 30 atau delapan setengah malam.
Tidak lama kemudian makanan pesanan kami pun mulai dihidangkan. Kemudian, sambil menikmati makan malam dimulailah pertunjukan seni tari dam musik khas Melayu ini. Deretan lagu dendang joget Melayu yang ceriah dan jenaka pun berkumandang mengiringi tarian yang dinamis dan menghibur penonton yang mulai ramai.
“Janji mulut sulit dijaga, janji hati dibawa mati”, demikian salah satu baris pantun jenaka yang dibawakan beberapa pasang muda-mudi sambil terus menari,berjoget, dan menandak baik di panggung maupun di permukaan jalan .Suasana malam terasa kian hangat dengan deretan lagu sambil berbalas pantun penuh keceriaan khas teruna remaja ini.
Selain itu, berbagai jenis tarian yang dinamis pun terus digelar.Bahkan salah satu tarian memiliki koreagrafi yang mirip dengan tari Saman dari Aceh yang dimodifikasi dengan rancaknya. Penonton pun bertempiksorak mengakhiri setiap tari dan lagu yang dipertunjukan.
Tidak terasa, makanan dan minuman yang kami pesan pun perlahan-lahan mulai tuntas bersih pindah ke lambung.Musik dan tari masih terus berlangsung, dan kami pun mulai melangkah kembali menuju Masjid Sultan.Masjid masih ramai oleh jemaah yang baru selesai sholat Isya. Seorang wanita berumur limapuluhan mendekati kami sambil menengadahkan tangan meminta sedekah.Dari mulutnya mengalir deretan doa ketika teman saya memberinya beberapa lembar Dollar Singapura.Kamikemudian melangkah meninggalkan kawasan Melayu ini melalui North Bridge Road kembali ke stasiun MRT Bugis.
Siapa bilang Melayusudah hilang dari Singapura!. Dan kalau anda ingin menyaksikan tari Saman ala Singapura, silahkan mampir ke Bussorah Street .
Siapa tahu dengan menonton Tari Saman di Singapura membuat penonton ingin menyaksikannya sendiri di Indonesia dan bisa mendapat info lebih banyak melalaui Indonesia Travel yang mempromosikan wisata di Indonesia.
Singapura, 30 Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H