[caption id="attachment_153978" align="alignnone" width="640" caption="pengemis di Lady"][/caption]
“Kalau mau belanja souvenir datang saja ke “Lady’s market”, ini adalah pesan seorang teman yang sudah lama bermukim di Hongkong. Dan karenanya setiap kali berkunjung, saya pun tidak pernah lupa untuk mampir untuk sekedar membeli pernak-pernik oleh-oleh seperti T Shirt, maupun gantungan kunci, ataupun magnet yang bisa ditempel di lemari es. Maka kali ini pun saya menyempatkan diri berkunjung ke sana.
[caption id="attachment_153979" align="alignnone" width="640" caption="Barang-barang yang dipamerkan"]
Akses Mudah melalu MTR
Sebagaimana biasanya saya selalu menyukai naik MTR untuk berkunjung ke pasar yang terletak di daerah Mongkok ini. Tinggal naik Tsuen Wan line dan sesampainya si stasiun Mongkok ikuti petunjuk dengan keluar melalu exit E . Setelah menyebrangi dua jalan kita akan sampai di Tung Choi Street, yang merupakan sejumput jalan di antara bangunan tinggi kumuh khas kawasan Mongkok. Dibandingkan dengan tahun 80-an, sudah banyak bangunan kumuh yang berganti dengan bangunan pencakar langit baru yang lebih modern.
[caption id="attachment_153981" align="alignnone" width="640" caption="Apartemen Kumuh di Mongkok"]
Menyusuri Tung Choi Street,di samping berbelanja, suasananya lah yang membuat tempat ini cukup menarik. Menurut teman saya yang tinggal di Hongkong, orang lokal hampir tidak pernah berbelanja di sini karena harganya sudah diinflasikan sesuai dengan kantong turis. Tetapi kerumunan dan banyaknya turis dari mancanegara merupakan daya tarik tersendiri. Terutama untuk kita yang hanya ingin melihat-lihat sambil berbelanja saja.
Jalan yang tidak terlalu lebar itu dipenuhi dengan kaki lima yang menjajakan barang dagangannya bahkan sampai setinggi langit. Maksudnya sampai memenuhi langit-langit lapak setinggi empat atau lima meter. Di sanalah, pakaian seperti jaket, kaos, baju wanita, T- Shirt, baju tradisional Cina dipamerkan untuk menanti pembeli.
[caption id="attachment_153982" align="alignnone" width="640" caption="Tas Tas dan Tas"]
Di bagian lain , dijual juga benda-benda elektronik yang bermacam-macam, dari head set, stereo, lampu, ataupun aksories lain. Kita tidak tahu kualitasnya yang penting harga lebih murah dari di toko. Berjalan lebih jauh lagi, segala macam benda daru kulit dijajakan seperti tas, sepatu, dompet, ikat pinggang. Tinggal tunjuk, tanya harga , menawar dan ambil. Demikian kita berbelanja di Lady’s Market.
Di belakang lapak kaki lima itu, juga berderet toko toko kecil yang umumnya menjual pakaian dan barang-barang lain. Bedanya mereka lebih menjual dengan harga pas.
Saya mencoba melihat-lihat ikat pinggang yang dibilang dari kulit asli, Segerombolan turis bule juga sedang menawar barang yang sama yang dibilang seharga 150HK Dollar. Menurut saya harga itu terlalu mahal karena di Yogya saja bisa didapat dengan harga di bawah 50 ribu. Namun turis bule tadi tertawa-tawa sambil bilang bahwa harga tersebut sudah murah. Akhir nya saya mencoba menawar 30 Dolar. Sayangnya tidak dikasih. Dan si penjual masih mencoba menawarkan sampai 50 HK Dollar. Wah bisa turun samapai sepertiga dari harga aslinya, tetapi saya, karena hanya iseng menawar, langsung meninggalkan lapak tersebut untuk melihat tempat lain.
[caption id="attachment_153980" align="alignnone" width="450" caption="Kumpulan magnet"]
Sambil terus berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tibapandangan mata saya terpaku pada seseorang yang duduk bersimpuh di tengah jalan. Didepannya ada sebuah piring kaleng tua usang yang sebagian terisi dengan uang logam recehan.
Saya perhatikan lagi sang pengemis ini. Di dekatnya ada sebuah tongkat penyangga, dan ternyatasang pengemis ini hanya memiliki satu kaki. Jaket tuanya yang berwarna biru kelihatan agak lusuh, dan kepalanya ditumbuhi rambut yang sudah memutih. Dia sedang sibuk dengan tas kecil berwarna biru yang dikalungkan di dada. Mungkin sedang memasukan uang " hasil kerja" nya sejak pagi tadi,
[caption id="attachment_153986" align="alignnone" width="640" caption="Tas dan Lukisan"]
Wajahnya kurang dapat dilihat dengan jelas, namun sekilas dari keriput di tangannya, dapat diperhatikan bahwa lelaki ini usianya sudah cukup tua , mungkin di atas enam puluh tahun. Sekilas , kulitnya agak gelap dibandingkan dengan rata-rata orang Hongkong yang berkulit terang. Mungkin karena sering terbakar sinar matahari.
Rupanya masih ada sisa-sisa pengemis di negri kapitalis yang makmur ini. Hal seperti ini mengingatkan saya bahwa memang tidak ada sistem yang sempurna. Di tengah kemajuan ekonomi, pasti saja ada yang kalah dan tersingkirkan. Mungkin kakek tua ini pun terpaksa harus menjalalni sisa hidupnya sebagai penegemis di Lady’s market di tengah-tengah keramaian dan kemakmuran Hongkong.
[caption id="attachment_153984" align="alignnone" width="450" caption="Suasana Lady;s Market"]
Keberadaanya memang sedikit ironis mengingat Hongkong merupakan salah satu negri termakmur di Asia dengan penghasilan perkapita lebih dari 45 ribu US Dollar . Karenanya tidak mengherankan kalau di seantoro negeri ini jarang sekali dijumpai pengemis seperti yang kita lihat di tanah air. Bandingkan saja dengan Indonesia yang pada saat ini angkanya masih berkisar sekitar 4000 US Dollar saja. Pada awal 1980 an, masih ada beberapa yang mudah dijumpai di lorong-lorong pintu masuk menuju stasiun kereta bawah tanah atau pun di atas jembatan penyebrangan. Namun di akhir tahun 2000an kesejahteraan makin meningkat menyebabkan pengemis menjadi barang yang langka di negri ini.
Setelah terus berjalan sambil melihat-lihat akhirnyasaya kembali ke arah jalan utama yaitu Nathan Road untuk naik bus yang akan membawa saya ke Star Ferry dan melihat-lihat pulau Hongkong. Di atas bus no 1 A itu saya termenung, akan pengemis tadi, yang seandainya ada di Jakarta, mungkin saya acuhkan saja karena banyaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H