Myanmar, merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang sudah sejak lama ingin saya kunjungi. Negri Aung San Su Kyi yang dulu bernama Burma ini adalah negri terakhir di kawasan Asia Tenggara yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Maklum saja karena selama ini agak sedikit ribet mengurus visanya.
Untung sejakditandanganinya perjanjian bebas visa di ibu kota Myanmar, Nyapitaw pada Mei tahun 2014 ini, pemegang paspor Indonesia dapat melenggang ke Myanmar tanpa visa untuk kunjungan kurang dari 14 hari. Dan dengan pesawat Silk Air dari Singapura, saya pun kemudian mendaratdi Yangon International Airport, Mingaladon.
Di terminal kedatangan bandara terbesar di Myanmar inilah saya mulai memperhatikan banyaknya orang Myanmar yang tidak pakai celana panjang. Sebagian besar hanya mengenakan sarung dengan aneka ragam warna yang disebut “long yi”.Demikian juga dengan supir taksi yang membawa saya ke hotel di pusat kota Yangon.Sang supir bersarung ini cukup fasih berbahasa Inggris dan bahkan sempat memberikan kartu nama lengkap dengan nomer telpon genggam.Dia juga sempat mengajarkan beberapa patah Bahasa Burma seperti Mingalada yang artinya Halo atau Selamat Pagi, Selamat Siang dan juga Selamat Malam.
Perjalanan dari bandara ke pusat kota berjalan lancar. Ketika mulai mendekati hotel, barulah terasa suasana lalu lintas kota Yangon yang cukup padat walaupun belum “macet” seperti di Jakarta. Ada beberapa hal yang cukup unik dengan kendaraan roda empat di Yangon. Kebanyakan mobil adalah buatan Jepang sehingga seperti di Indonesia, sang pengemudi ada di sebelah kanan. Namun kendaraan di Myanmar ternyata berjalan di sebelah kanan jalan.“Hanya kendaraan buatan Korea atau Cina yang memakai setir kiri” jelas Nyi Nyi Swie, sang supir yang cukup ramah itu.
Hal lain yang cukup menarik adalah absennya kendaraan roda dua yang bernama sepeda motor dari seluruh jalan raya di kota Yangon.Sehingga walaupun kendaraan cukup macet, tetap terasa ada sesuatu yang hilang. Kendaraan yang di Jakarta bisa lewat mana saja sesukanya itu ternyata memang dilarang untuk ikut menambah kemacetan lalu lintas di Yangon. Setelah kira-kira 45 menit berkendara, tibalah saya di hotel dan cukup membayar ongkos sebesar 9000 Kyat saja.
Petualangan di Yangon dilanjutkan pada sore hingga malam harinya. Saya menyusuri Sule Pagoda Road yang ramai baik dengan kendaraan maupun pejalan kaki. Kendaraan umum berupa bus dan mobil omprengan dipadati oleh penumpang yang kebanyakan memakai sarung. Demikian juga dengan kondekturnya yang sibuk berteriak sambil mencari penumpang. Pendek kata baik penumpang, supir, maupun sang kenek seuanya bersarungria.
Di sepanjang kaki lima , banyak sekali pedagang yang menjual berbagai jenis makanan dan buah-buahan.Meja kecil dengan bangku plastik pun digelar dan berbagai jenis makanan yang terlihat sangat menarik cukup ramai diminati pembeli. Dan sekali lagi, baik sang penjual maupun pembeli hampir semuanya tidak pakai celana alias bersarungria.Cara mereka duduk juga sangat santai, karena sebagian mengangkat kaki persis seperti abang becak di warung tegal.
Di salah satu persimpangan jalan, ada seorang wanita muda yang berjualan kecoa goreng.Sayangnya saya tidak sempat membuat gambar karena suasana sudah mulai gelap dan penerangan lampunya agak kurang. Tidak jauh dari persimpangan ini, seorang abang becakjuga terlihat sedang membersihkan becak yang merupakan modifikasi sepeda . Dan tentu saja abang becak ini pun memakai longyi.
Singkatnya, saya sedikit menyesal karena pergi ke Myanmar membawa terlalu banyak celana dan kurang mengemas banyak sarung!
Yangon, 21 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H