“Dari Indonesia?”seorang pria berbaju putih menegur saya ketika saya masuk ke Restoran Mabuhay yang ada di Kothnerstrasse no 28, di kawasan sebelah utara kota Berlin ini.Tentu saja pria bule ini mudah menebak dengan benar karena Restoran ini memang menghidangkan masakan Indonesia walaupun namanya berbau Filipina, yaitu Mabuhay.
Kebetulan malam itu semua meja terisi penuh kecuali satu meja yang tertulis reserviert atau sudah dipesan pelanggan lain. Akhirnya saya dipersilakan duduk satu meja dengan seorang gadis yang kebetulan memesan makanan untuk dibawa pulang.Pria yang menegur saya kemudian terus berbicara campuran dalam bahasa Jerman dan Indonesia dan kemudian saya sadar bahwa ia merupakan pemilik restoran ini dan bernama Michael.
Di Salah satu meja di pojok lain, terdapat seorang pemuda yang juga berasal dari Indonesia dan sedang asyik menikmati makanannya. Sesekali dia berbicara dengan wanita pemilik restoran bernama Lusi yang berasal dari Sumatra Utara.
Di sebelah saya ada juga seorang lelaki bule yang sesekali berbicara dengan Michael dalam bahasa Jerman. Tetapi kalau berbicara dengan Lusi dia selalu menggunakan bahasa Indonesia.Bahasa Indonesianya pun cukup lancar.Sementara di meja di seberang saya ada tiga orang tamu yang sepintas terlihat sebagai orang Jerman. Dua orang wanita dan seorang lelaki berumur 50 tahunan. Yang lebih mengejutkan saya adalah setiap kali berbicara dengan Lusi, mereka juga berbicara dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih.
Saya kemudian memesan makanan, yaitu pecel ayam dan minuman jeruk hangat. Sementara di daftar menu tersedia berjenis makanan dan minuman yang menggoda selera termasuk teh botol asli Indonesia.Sambil menunggu makanan saya meulai menegur Lusi dan mulai bertanya mengenai maksud kunjungan saya ke Berlin. Saya pun tidak ketinggalan mulai sedikit bertanya mengenai sejarah restoran ini. Namanya memang dulunya Mabuhay yang dalam Bahasa Tagalog berarti Selamat Datang karena pemiliknya merupakan pasangan Indonesia dan Filipina. Namun sejak dua tahun lagi Michel dan Lusi membeli restoran ini dan kemudian menggantikan menunya menjadi full menu Nusantara.
Tidak lama kemudian, pecel ayam saya pun keluar dan terasa sangat nikmat dengan sambalnya yang pedas menggigit. Apalagi setelah beberapa hari mengembara di Eropa belum ketemu dengan menu Indonesia.Kursi di depan saya kali ini juga baru terisi dengan pelanggan yang berkaos merah. Dan seperti sudah diduga kalau pria ini pun bisa dan fasih berbahasa Indonesia walaupun jelas berwajah Eropa.
“Wah di sini semua bicara Bahasa Indonesia!” komentar saya kepada Lusi yang kemudian menjawab bahwa sebagian besar pelanggannya selain orang Indoensia yang tinggal di Berlin adalah orang Jerman yang memang pernah tinggal di Indonesia.Sehingga mereka sedikit banyak bisa berbahasa Indonesia dan jatuh cinta terhadap masakan Indonesia.
Saya terus makan dengan santai dan nikmat sampai akhirnya pemesan meja yang kosong tiba. Seorang wanita berwajah Indonesia dengan pasangannya lelaki Jerman. Mereka asyik berbicara bahasa Jerman.Sampai akhirnya saya mencoba menegur wanita itu dalam bahasa Indonesia. Ternyata wanita ini berasal dari Filipina dan merupakan pelanggan setia Mabuhay sejak dahulu.
Sepotong malam yang hangat walaupun udara di Berlin cukup dingin menusuk tulang.Saya pun kemudian pamit dengan Lusi dan mengucapkan Aufwiedersehen sambil berjalan ke stasiun U-Bhan Mendelssohn-Bartholdy yang letaknya kira-kira 50 meter di depan restoran ini.
Siapa sangka, di Berlin kita bisa bertemu dengan orang berbagai bangsa yang semuanya bisa berbicara bahasa Indonesia.
Berlin, Akhir Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H