Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berkelana ke Abad Lampau di Lorong Kampung Buangkok

23 Februari 2014   14:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alunan lagu irama Melayu dari tahun 1960 an mengalun dengan merdu dari sebuah rumah berdinding kayu.Rumah ini sangat sederhana dan mengingatkan saya akan suasana perkampungan di tanah Sumatra pada masa kecil dahulu.Rumah beratapkan seng dan dicat dengan kombinasi warna biru muda dan putih kebiruan ini tampak sangat asri dengan banyaknya pohon rindang di halamannya.Di beranda,juga tergantung bebrapa sangkar burung dan satu set meja kursi dari kayu. Pemandangan ini menjadi tambah manis dengan diparkirnya sebuah motor berwarna merah lengkap dengan kotak bagasi tambahan berwarna hitam di bagian belakangnya.

Saya terus berjalan menyusuri lorong yang berliku dan sepi.Lorong ini di kedua sisinya dihiasi dengan pohon-pohon rindang yang hijau dan juga bebungaan beraneka warna. Sebuah kotak sampah besar berwarna hijau dan tiang listrik lengkap dengan lampu jalan dan kabel-kabelnya mengingatkan kita akan suasana perkampungan.Sejenak saya termenung. Dimanakah saya berada?

Suasana kampung dari pertengahan abad lampau ini lokasinya bukan di Sumatra, ataupun di tanah semenanjung, melainkan di negara pulau yang sering dijuluki “The Little Red Dot”, yaitu Singapura. Dan lokasinya pun tidak terlalu jauh dari salah satu jalan raya utama yaitu Yio Chu Kang Road.Nama kampung ini pun sangat khas yaitu “Lorong Kampung Buangkok”.Mirip dengan nama ibu kota negri Gajah Putih.!

Perjalanan ke Lorong Kampung Buangkok ini berasal dari kerinduan dan keinginan untuk mencari dan menyelusuri kehidupan yang sedikit berbeda di Singapura. Suasana urban pusat pertokoan di sekitar Orchard Road sudah sangat membosankan.Demikian pula dengan banyaknya wisata alam yang artifisial seperti Singapore Zoo, Night Safari ataupun River Safari. Tetapi di tempat yang bernuanasa perkamungan inilah, kita dapat menemukan suasana asli Singapura yang nyaris hilang di telan jaman.

Dari Stasiun MRT Seranggon, saya naik bus 103 dan kemudian turun di seberang Gerald Drive.Dari sini tinggal berjalan kaki menyusuri jalan yang sepi menuju Lorong Kampung Buangkok. Di kejauhan masih terlihat suasana kota Singapura dengan latar belakang gedung-gedung perumahan yang tinggi menjulang. Deretan gudang tua dengan alamat 70 Gerald Drive seakan-akan memberikan selamat datang kembali ke masa lampau.

Memasuki jalan Lorong Buangkok, barulah masa lampau itu menyapa saya, sebuah rumah tua yang terbuat dari kayu dengan alamat 5 Lorong Buangkok memang benar-benar meyakinkan saya bahwa saya telah kembali ke masa lampau.Di sebelah rumah ini, sebuah rumah kayu bercat biru dengan pintu utama yang dihiasi sepasang lampion berwarna merah dan hiasan kain berwarna merah dengan tulisan aksara Cina seakan-akan bercerita tentang latar belakang sang penghuni rumah ini.

Namun setelah berjalan sekitar 100 meter, Saya bertemu dengan sebuah lorong. Di sini terdapat sebuah petunjuk dari kayu dengan arah panah bertuliskan “Surau Kampung Lorong Buangkok”.Saya kemudian mengikuti petunjuk tadi dan kemudian sampai di lorong yang sepi dan bernuansa abad lampau tadi.Deretan rumah kayu beratapkan seng dan suasana perkampungan lah yang ada di sini. Anehnya, walaupun cukup lama saya berkelana di sini, tidak satu orang pun sempat saya jumpai kecuali suara musik irama Melayu itu.

Surau kampung ini terletak tepat di tengah perkampungan. Dindingnya terbuat dari kayu yang dicat kombinasi warna coklat tua dan kuning muda. Jendela-jendelanya tertutup rapat. Atapnya terbuat dari seng yang berwarna biru muda.Sebuah papan nama berlatar belakang warna putih bertuliskan “Surau Al Firdaus Kampung Lorong Buangkok “ yang berwarna hijau dan hanya ditulis tangan bertengger di bawah atap.Pintu surau ini juga tertutup rapat , dan sebagai penanda, ada lambang bulan sabit dan bintang berwarna hijau yang diusung oleh sebuah tiang kecil dipasang di atas atap.

Pengembaraan di kampung terakhir yang tersisa di pulau Singapura ini terus berlanjut. Rumah-rumah tua di selang-seling oleh kebun dengan pepohonan yang lebat membuat saya merasa kerasan berada di tempat ini.Selain surau dan musik melayu, banyak juga rumah yang di halamannya dihiasi dengan patung dewa dewi dan asap dupa.

Setelah sekitar setengah jam menikmati suasan perkampungan ini, saya pun kembali menyelusuri jalan utama sampai ke halte bus.Perjalanan menyelusup ke kampung ini, memang sejenak menbawa saya kembali ke abad duapuluh. Tidak lama menunggu, bus 103 pun tiba dan siap membawa saya kembali ke abad 21.

Singapura, Februari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun