[caption id="attachment_177421" align="alignnone" width="360" caption="Desa Adat Sasak "][/caption]
“Ayo ke desa adat suku sasak”, ajak teman yang bertugas di Bandara Internasional Lombok ketika saya menanyakan tempat-tempat menarik disekitar kawasan ini.
Akhirnya, dari kawasan pantai Kuta, kendaraan kami dipacu menuju arah kota Mataram via desa Sade yang terletak di Rimbitan, Kecamatan Pujut, yang termasuk wilayah Kabupaten Lombok Tengah ini.
Di sebelah kiri jalan terdapat petunjuk lokasi bertuliskan “Selamat Datang (Welcome) di Desa Sasak Sade Rembitan“ Papan petunjuk yang bertuliskan warna hitam dengan latar belakang putih ini di buat dengan naungan atap berbentuk gunungan khas rumah adat Suku Sasak. Kami segera memarkir kendaraan sementara, melihat kedatangan kami, seorang pemuda yang tadinya sedang duduk santai di sebuah bale, tiba-tiba saja menyambar sarung kotak-kotak kuningnya dan dengan sigap segera menyambut kami.
[caption id="attachment_177422" align="alignnone" width="360" caption="Seekor Kucing di Desa Sade"]
“Selamat datang di desa adat kami” demikian sapanya sopan. Tanpa diminta pemuda berusia sekitar duapuluhtahunan ini pun menjalankan fungsinya sebagai guide atau pemandu wisata dadakan. Bagai kerbau dicucuk hidung, rombongan kamu pun segera mengikuti sang pemandu menyebrang jalan dan menuju pintu gerbang desa adat suku sasak ini.
Pintu gerbangnya berbentuk gunungan dan beratapkan alang-alang. Gunungannya persis dengan bentuk arsitektur bandara Internasional Lombok. Sebelum memasuki desa, kami diminta untuk mengisi buku tamu, dan kemudian memasukan uang ala kadarnya sebagai sumbangan. Seorang pemuda tanggung belasan tanggung duduk santai menunggui buku tamu dan kotak sumbangan.
[caption id="attachment_177423" align="alignnone" width="360" caption="Rumah dengan atap alang-alang dan berdempetan di Desa Sade"]
Pengembaraan di desa ini pun dimulai. Kumpulan rumah-rumah tradisional yang terlihat dempet berdekatan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh jalan berbentuk gang yang sempit dengan kontor tanah yang berbukit-bukit membuat kita merasa terlempar ke dunia dan ruang waktu yang lain. Berada di dusun ini, waktu seakan-akan terhenti. Dunia modern abad ke 21 pun kita tinggalkan di jalan raya sana.
[caption id="attachment_177439" align="alignnone" width="360" caption="Rumah adat"]
Pemandangan pertama adalah kumpulan rumah yang rapat , sangat menawan dan asri, namun melihat atap alang-alang yang sangat kering itu membuat saya merasa khawatir akan tingkat keselamatan kampung ini. Mengingat bahan atap dan dinding rumah-rumah yang sangat rawan kebakaran. Dinding rumah terbuat dari bedek atau anyaman bambu.
[caption id="attachment_177424" align="alignnone" width="358" caption="Tenunan"]
Setelah melewati beberapa gang yang juga dipenuhi dan gerai-gerai yang menjual tenunan khas suku Sasak, akhirnya kami dipersilahkan untuk memasuki salah satu rumah adat yang masih asli. Rumah ini berbentuk gunungan dengan atap dan bubungan yang juga terbuat dari alang-alang.
[caption id="attachment_177427" align="alignnone" width="360" caption="Sang pemamdu di dalam Bale Gunung Rate"]
Kami masuk melaui pintunya yang berukuran kecil. “Pintu sengaja dibuat pendek sehingga setiap orang yang masuk mesti menunduk”, itu adalah penjelasan sang guide mengenai kecilnya pintu. Tujuannya agar setiap tamu dipastikan menghormati tuan tumah dengan cara menunduk tadi. Yang menarik, rumah adat Suku Sasak ini sama sekali tidak memiliki jendela.
“Rumah adat ini disebut Bale Gunung Rate”, tambah pemandu menjelaskan nama rumah adat ini. Dia juga menjelaskan keunikan lantai rumah yang dibuat tanpa semen melainkan menggunakan adonan tanah liat dan kotoran sapi atau kerbau. Namun terlihat lantai itu cukup kokoh dan bersih.
[caption id="attachment_177441" align="alignnone" width="360" caption="Dapur di bale dalam"]
Bale Gunung Rate ini dibagi atas beberapa ruangan yang dipisahkan oleh sekat-sekat. Bale luar, yang merupakan ruangan pertama setelah pintu masuk, digunakan untuk ruang tidur laki-laki.Di sebelah atas, ada lagi sebuah ruangan yang disebut bale dalam, dimana untuk naik kesitu kita harus melalui tiga buah anak tangga, digunakan untuk ruang ibu melahirkan dan juga tempat menyemayamkan jenazah. Di sebelahnya adalah ruangan dapur dan juga ruang tidur untuk anak gadis. Uniknya semua ruangan disini tidak dilengkapi jendela.
[caption id="attachment_177429" align="alignnone" width="360" caption="Pedagang Cenderamata"]
Setelah melihat lihat isi rumah adat Suku Sasak, kami terus berkeliling kampung dan menyaksikan banyak sekali hasil tenunan yang dipamerkan sekaligus dijual. Bermacam-macam sarung berwarna-warni dengan pola yang cantik dan terbuat dari bahan kapas ditawarkan kepada kami. Selain itu, bed cover, syal dan pernak-pernik tanda mata juga ditawarkan. Saya dan teman-teman sempat membeli beberapa helai sarung dan juga syal. Harganya relatif murah kalau kita pintar menawar tentunya.
[caption id="attachment_177430" align="alignnone" width="360" caption="Wanita sedang menenun"]
Masih di kawasan kampung, terdapat juga ibu-ibu tua yang sedang menenun menggunakan alat tenun trasional.Di depan sebuah rumah tampak seorang lelaki setengah baya duduk bertelanjang dada dan hanya mengenakan sehelai sarung. Uniknya mereka mengenakan sarung biasa dan bukan sarung tenunan khas yg dijual.
[caption id="attachment_177431" align="alignnone" width="360" caption="Seorang penduduk desa"]
Sementara itu, saya juga tidak luput menyaksikan banyaknya hewan-hewan peliharaan yang berkeliaran dengan bebas di desa adat ini. Di dekat pintu masuk , seekor kucing berbulu belang tiga warna: kuning , hitam, dan sedikit putih tampak sedang bersantai.
[caption id="attachment_177432" align="alignnone" width="360" caption="Burung dalam sangkar"]
Di dekat tempat kami membeli tenunan, tampak beberapa buah sangkar bambu berisi yang berisi sejenis ayam jantan besar dengan bulu-bulu yang cantik. Seekor anjing putih yang tampak kurus juga terlihat berlarian di lorong-lorong yang sempit di kampung ini.