Lebaran telah datang. Kita kembali melihat pemandangan yang akrab: kumpul keluarga, ketupat dan hidangan khas, baju baru --- dan tentu saja, fenomena yang kini menjadi tradisi baru: tarian THR. Di ruang keluarga di rumah-rumah, orang berjoget sebelum mendapat amplop atau hadiah THR, biasanya diiringi musik ceria dan tawa riang. Sederhana, tapi viral.
Namun yang tak kalah ramai dari video joget THR itu adalah komentar-komentar yang menyertainya. Banyak yang menertawakan, banyak juga yang mencibir. Ada yang menuduh tarian itu meniru budaya Yahudi, bahkan menyebutnya haram karena menyerupai hora --- tarian rakyat Yahudi yang khas dengan gerakan melingkar dan melompat. Tuduhan semacam ini seolah menjadi pola: sedikit-sedikit Yahudi, sedikit-sedikit haram.
Tapi benarkah demikian?
Antara Hora, Dabke, Letkajenkka, dan Bunny Hop
Tarian THR yang viral itu umumnya memperlihatkan orang-orang bergandengan tangan, berjalan, berbaris atau melompat ke samping, maju dan mundur lalu berputar. Gerakannya spontan, gembira, dan biasanya mengikuti aba-aba satu orang. Sekilas, memang mirip hora---tarian tradisional Yahudi. Tapi juga sangat mirip dabke, tarian rakyat di Palestina, Lebanon, dan Suriah. Juga mirip tarian di komunitas Arab dalam pesta pernikahan.
Bahkan banyak kemiripan dengan bunny hop, tarian anak-anak dari Amerika, atau letkajenkka, tarian rakyat Finlandia yang populer di era 60-an.
Faktanya, gerakan tarian yang berbaris, melompat, dan berputar sambil bergandengan adalah sesuatu yang muncul di berbagai budaya. Merupakan gerakan yang universal. Dalam antropologi tari, pola ini disebut communal circle dance---sebuah bentuk tertua dari tarian komunitas yang ditemukan di Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, hingga Asia Tenggara.
Artinya, tidak ada budaya yang secara eksklusif memiliki hak paten atas gaya semacam ini. Dan yang menari dalam video-video viral itu? Kemungkinan besar tidak tahu-menahu soal hora, dabke, atau bunny hop. Mereka hanya menari mengikuti suasana dan musik. Tersenyum, tertawa, lalu menerima amplop THR dari bos , orang tua , atau paman dan kakak kepada anak atau adik dan anak buah.
Apakah kita akan menghakimi mereka hanya karena gerakannya kebetulan menyerupai budaya lain?
THR: Kebijakan Sosial Khas Indonesia
Tunjangan Hari Raya, atau THR, dalam arti formal adalah aturan pemerintah yang memaksa pengusaha memberikan THR menjelang hari raya. Perusahaan akan mendapat sanksi jika tidak memberikan THR.
THR adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang muncul dari semangat keadilan sosial. Diberikan agar para pekerja bisa menyambut hari besar dengan tenang, membeli keperluan Lebaran, dan membahagiakan keluarga. Dan dalam nilai universal, tentu ini adalah hal yang baik dan sesuai prinsip sosial karena perusahaan tentunya dianggap mampu memberikan tunjangan ini kepada karyawannya.
Uniknya, Indonesia bisa jadi satu-satunya negara yang mewajibkan pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja. Bahkan di negara-negara Arab seperti Arab Saudi atau UEA, tidak ada kewajiban resmi dari pemerintah untuk membayar THR. Yang ada adalah bonus atau insentif berdasarkan kebijakan internal perusahaan.