Malam itu, dalam rangka Festival Kebhinekaan ke 8, Â saya berkesempatan untuk berkunjung ke Islamic Cultural Center (ICC) Pejaten, sebuah pusat kebudayaan Islam yang dikenal sebagai salah satu tempat kajian keislaman Syiah di Jakarta. Kunjungan ini bukan sekadar untuk menambah wawasan, tetapi juga untuk memahami lebih dekat tradisi dan kebiasaan umat Islam dari mazhab yang berbeda.
Setibanya di ICC, saya bertanya kepada satpam di mana acara berlangsung.
Ketika masuk ke dalam ruangan, mbak Ira Latif dan beberapa teman sudah menunggu. Â Seperti biasa saya mengisi absen yang dibawa Mas Koko.
Salah seorang pengurus, yaitu Mas Mujib menyambut  dengan ramah.  Kebetulan saat ini ada juga seorang perempuan muda yang bernama Nabilah. Dia bercerita bahwa dia penganut syiah yang kalau di tempat kerja sering terpaksa menutupi identitasnya karen takut dibully dan dimusuhi. Dia melakukan taqiyah yang diperbolehkan dalam situasi tertentu.
Melihat Orang Syiah Salat:
Salah satu momen yang paling menarik bagi kami adalah kesempatan untuk melihat langsung cara salat jamaah di ICC. Ada beberapa hal yang berbeda dibandingkan dengan salat di masjid-masjid Sunni pada umumnya:
1.Salat Magrib dan Isya digabung
*Kami melihat bahwa jamaah di ICC menggabungkan salat Magrib dan Isya dalam satu waktu. Ini merupakan salah satu perbedaan utama dalam fiqh Syiah, di mana jamaah diperbolehkan menggabungkan salat tanpa adanya kondisi khusus seperti bepergian.
2.Penggunaan Batu Turbah
*Saat sujud, jamaah meletakkan dahi mereka di atas batu kecil berbentuk bundar yang disebut "Turbah". Turbah ini biasanya terbuat dari tanah Karbala, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat wafatnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad.
3.Tidak Bersedekap saat Berdiri
*Berbeda dengan praktik dalam mazhab Sunni yang umumnya melipat tangan di dada atau perut saat berdiri dalam salat, jamaah di ICC membiarkan tangan mereka lurus di samping badan.
Meskipun ada perbedaan dalam tata cara ibadah, kami melihat bahwa inti dari salat tetap sama: mengingat Allah dan beribadah dengan penuh khusyuk.
Sambil menunggu yang sedang salat, kami diajak untuk menikmati teh jahe dan samosa, kudapan khas Asia Tengah  yang renyah di luar dengan isian daging berbumbu di dalamnya. Sembari menikmati hidangan, kami mengamati lingkungan sekitar.
Ruangan yang kami tempati disebut Husainiyah, tempat khusus untuk  majelis dan kegiatan keagamaan. Karpet-karpet tebal nan indah terhampar di lantai, dengan bantal-bantal yang menyerupai suasana  di Iran. Tiang-tiang yang berdiri kokoh dihiasi dengan warna hijau, putih, dan merah, merepresentasikan bendera Iran. Gambar-gambar yang terpajang di dinding memberikan nuansa khas Asia Tengah, menghadirkan atmosfer yang unik dan berbeda dari masjid-masjid yang biasa kami kunjungi.
Sambutan Ustaz Umar Shahab
Tak lama kemudian, acara resmi dimulai. Ustaz Umar Shahab, Wakil Direktur ICC, yang sebelumnya menjadi imam salat, membuka acara dengan menyapa para hadirin.Â
Dalam sambutannya, ia bercerita bahwa dirinya dikirim ke Iran sebelum Revolusi Islam untuk menimba ilmu. Saat itu, gerakan Syiah di Indonesia masih sedikit dikenal, tetapi pasca-revolusi, ajaran dan pemikiran Syiah semakin berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Setelah memberikan sedikit pengantar tentang sejarah Syiah di Indonesia, Ustaz Umar mengenalkan para hadirin, di antaranya para pemuda dari Pandu Ahlul Bait dan ibu-ibu dari komunitas Muslimat Ahlul Bait. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa komunitas Syiah di Indonesia memiliki berbagai kelompok yang aktif dalam dakwah dan pendidikan Islam.
Syiah adalah salah satu mazhab dalam Islam yang secara historis berkembang sebagai pengikut (Syiah berarti "pengikut" atau "partai") Imam Ali bin Abi Thalib, yang merupakan menantu dan sepupu Nabi Muhammad.