Setelah sarapan pagi, kami bersiap-siap untuk kembali melanjutkan perjalanan. Pagi ini rombongan kecil saya, bu dokter Lili dan Bu dokter Ida bertukar kendaraan yang kali ini dikemudikan Ibrahim.
Sebelum berpisah rombongan kami mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari tuan rumah. Para lelaki mendapatkan kalpak, topi tradisional Kyrgyz warna putih. Sedangkan perempuan mendapatkan kerudung dengan motif bunga warna-warni.Â
Topi ini menjadi simbol keramahan masyarakat  di Pamir, sebuah pengingat bahwa perjalanan ini bukan hanya soal tempat yang dikunjungi, tetapi juga interaksi manusia yang mendalam.
Kami sempat berfoto bersama sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Sebelum meninggalkan desa Alichur, kami mampir ke toko kecil milik keluarga Syamil.  Ibrahim juga mengajak  keliling desa memperlihatkan sekolah, kantor desa dan puskesmas. Semuanya tampak sangat sederhana di desa tertinggi di Tajikistan yang letaknya hampir 4000 meter dari permukaan laut.
Sebagaimana biasa, saya selalu duduk di depan, di sebelah kanan sopir dan saya pun memulai percakapan sambil mempraktikkan bahasa Rusia saya. Ibrahim juga bisa sedikit bahasa Inggris dan senang belajar satu dua kata  bahasa Indonesia. Dari percakapan ini saya pun tahu bahwa kata Alichur sendiri dalam bahasa setempat berarti Kutukan Ali, mengingat alam nya yang kurang bersahabat.
"Di sebelah kiri kita adalah negeri Kitai alias Tiongkok sementara di sebelah kanan adalah serta pegunungan Pamir Alay," demikian penjelasan Ibrahim ketika Konvoi kendaraan kami melaju kencang ke arah selatan, menuju Langar dan juga memasuki Lembah Wahan. Â
Kondisi  jalan yang kami lalui cukup baik di awal, meskipun kebanyakan tidak beraspal dan hanya diperkeras dengan kerikil.