Setelah lebih dari seminggu berkunjung ke Kolombia dan menikmati suasana ibukota negeri di Amerika Latin yang sejuk karena berada sekitar 2600 meter di permukaan laut, tibalah waktunya bagi saya untuk melanjutkan perjalanan. Berkunjung ke negeri lain dan mencari apa saja yang menarik untuk dikenang dalam hidup ini. Bagi saya hidup memang sebuah perjalanan yang penuh dengan kejutan.Â
Hari sudah menjelang malam ketika Pak Agus, staf lokal kedutaan besar Republik Indonesia di Bogota kembali mengantar saya menuju Bandara Eldorado melalui jalan-jalan di kota Bogota yang ramai dan cenderung macet. Â Kami bercerita banyak tentang perjalanan hidup Pak Agus yang awalnya hanya ingin meniti karirr di Bogota sebagai batu loncatan, tetapi akhirnya menetap di negeri itu karena terpesona dengan kecantikan gadis Kolombia yang kini menjadi istrinya. Â Walau jarak dari Embajada atau Kedutaan di Calle 76 #10-2 di kawasan Nogal ke Bandara Eldorado hanya beberapa belas kilometer, tetapi harus ditempuh dalam waktu sekitar 90 menembus menembus padatnya lalu lintas kota Bogota. Â Apalagi sore itu hujan habis membasahi ibukota Kolombia itu.
Pesawat Boeing 787 Avianca terbang tepat waktu dari Bogota menuju Santiago de Chile. Karena dari negeri hispanohablante yang satu ke negeri hispanohablante yang lain, hampir semua penumpang dan juga awak kabin terus berbahasa Spanyol. Walau lumayan jauh dengan waktu tempuh lebih 5 jam, Avianca tidak memberikan layanan makanan dan minuman di dalam pesawat, semua harus dibeli sehingga saya memesan sepotong roti dan secangkir teh dengan harga 10 USD.  Hiburan di pesawat pun berupa  peliculas atau  film film yang kebanyakan sudah disulih dalam bahasa Spanyol.Â
Sekitar pukul 5 .30 pagi waktu Santiago, pesawat mendarat di Bandara Arturo Merino Benitez  atau kadang juga disebut Bandara Nuevaa Puaduhel.   Hari masih gelap ketika saya untuk pertama kalinya menjejakkan kali di bumi Chile. Negeri yang pernah terkenal dengan salah satu diktator militer yaitu Augusto Pinochet dan juga sastrawan serta penyair Pablo Neruda. Negeri yang terkenal dengan Pulau Paskahnya serta bentuknya yang langsing memanjang hingga ke selatan di Tierra del Fuego.Â
Pemeriksaan imigrasi berlangsung lima yang cepat dan petugas hanya sempat terkejut melihat paspor Indonesia dan kemudian berbicara dengan bahasa Spanyol ke rekannya di kaunter sebelah hanya untuk meyakinkan bahwa warga Indonesia tidak memerlukan visa untuk berkunjung ke Chile.  Petugas itu juga  hanya menanyakan apakah pekerjaan saya dan kemudian menanyakan dimana saya akan tinggal selama di Chile. Saya hanya menyebut kawasan Las Condes yang merupakan salah satu daerah elite di Santiago.Â
Petugas segera memberikan stempel imigrasi Chile yang cantik di paspor saya dan juga selembar kertas yang berisi data pribadi seperti nomor paspor, tanggal lahir yang sudah tercetak rapi.
Sambil mengucapkan muchas gracias saya meninggalkan kaunter inigrasi dan menuju tempat pengambilan bagasi. Di sini juga ada sebuah kaunter penularan uang dengan nilai tukar yang kurang menguntungkan dengan komisi yang lumayan besar. Namun bila terpaksa untuk mendapatkan mata uang Chile , yah harus menukar di bandara ini walau nilai  tukar di pusat kota jauh lebh baik.  Kalau tidak mau menukar uang, bisa juga mengambil mata uang Peso Chile yang ada di ATM. Sementara mesin penukar uang otomatis yang ada di bandara juga tidak berfungsi.
Sambil menunggu bagasi, saya kemudian melihat kembali paspor yang sudah dicap dengan stempel imigrasi Chile dan tanggal kedatangan di awal Feburari 2024.  Dan yang menarik adalah secarik kertas yang tadi belum sempat saya perhatikan dengan saksama. Ternyata mencantumkan juga Tiempo de Permanencia alias waktu tinggal yang diijinkan di Chile yaitu 90 dias atau 3 bulan dengan  stempel bertuliskan Policia de Investigaciones Control Migratorio,  Aeropuerto A. Merino Benitez.