Dari sini ke empat menara tampak lebih jelas dan kubah utama tampak sangat dekat. Kami bahkan dapat berjalan dan duduk di atas kubah ini.  Terlihat besar karena dekat walau dari jauh kubah ini terlihat kecil saja.  Dari dekat sini ke empat menara yang sekilas sama ternyata memiliki hiasan dan ornamen yang berbeda.  Konon mewakili empat agama yang dikenal, yaitu Islam, Kristen, Buddha dan Zoroaster.  Hal ini bisa dilihat dari lambang salib, ikan dan  roda doa  khas Buddha.  Yang menarik juga di puncak salah satu menara ada patung dua ekor burung bangau.
Ada kisah menarik tentang bangau di Bukhara seperti dikisahkan Guljan, sang pemandu wisata.  Dulu. Di setiap tempat tinggi di Bukhara, seperti kubah dan menara selalu ada sarang bangau.  Namun bangau-bangau ini kemudian menghilang di sekitar akhir tahun 1970-an.  Dulu Bukhara memang terkenal dengan kolam-kolamnya sebagai bagian dari  pengairan serta persediaan air minum dan mengatur kadar gram dalam air tanah.  Namun karena kolam -kolam ini juga menjadi penyebab berjangkitnya wabah penyakit menular, secara perlahan-lahan pemerintan Soviet menutup dan mengeringkan kolam-kolam tersebut. Akibatnya muncul banyak katak dan burung bangau pun pergi meninggalkan Buhkara.   Kini yang tersisa hanyalah patung-patung bangau yang menghiasi sebagian puncak kubah di Bukhara termasuk yang ada di Chor Minor ini.
Kami kembali melihat ke depan dan melambaikan tangan kepada Bu Ellen yang ada di bawah sana, Dia sempat mengambil foto kami yang terbukti hasilnya sangat kecil dan tidak tampak karena jauh di atas. Â Setelah puas mengagumi keindahan kubah utama dan emat menara, kami turun kembali ke toko suvenir. Â Sempat melihat beberapa anggota rombongan yang masih sibuk belanja dan kemudian berjalan menuju toko suvenir di depan Chor Minor
Di toko ini saya mengagumi benda-benda peninggalan era Soviet seperti topi khas dengan pin berlogo lambang Republik Soviet Uzbekistan yang sebenarnya mirip dengan lambang negara Uzbek yang sekarang. Â Â
Saya sempat membuat gambar mas Agus yang berfoto dengan topi lengkap dengan pin Uzbekistan yang bergambar Burung Huma dengan sinar matahari dan lebah bergambar dua buah sungai yaitu Sir Darya dan Amur Darya, Di kedua sisinya ada karangan bunga bergambar padi dan kapas atau katun. Â Katun memang menjadi produk utama Uzbekistan sejak zaman Soviet. Â Lambang Republik Soviet Uzbekistan sekilas mirip dengan lambang Uzbekistan yang sekatang dan tentu saja berhiaskan logo palu arti sebagai lambang komunisme.
Baju -baju tentara dengan hiasan lencana penghargaan zaman Soviet dipajang di toko ini di satu sisi. Di sisi lain dipajang pulan jubah khas Uzbek yang sekilas mirip kimono tetapi dengan motif dan corak warna yang meriah, berani dan cantik. Â Chapan ini pun sangat cocok untuk dipakai baik di musim panas maupun musim dingin. Hanya saja chapan untuk musim dingin bisanya diisi dengan katun yang ;lebih tebal untuk memberikan rasa hangat. Â Selain itu juga banyak vandal dan bahkan patung dada Lenin.
Saya ingat mas Agus pernah menunjuk chapan biru sebagai warna favoritnya. Kami tidak membeli apa-apa di toko suvenir ini dan hanya sejenak berpose memakai topi khas Soviet yang disebut Ushanka. Â Topi yang biasa dipakai di musim dingin dengan penutup telinga yang bisa di buka tutup. Â Saya sendiri ingat pernah membeli topi serupa di Moskwa beberapa tahun lalu.Â
Tidak terasa sudah sekitar satu jam kami bersantai, melihat-lihat dan juga berbelanja di Chor Minor, kini tiba waktunya untuk  makan siang dan kami segera berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di Kota Tua Bukhara untuk menuju ke sebuah restoran di dekat Lyabi Hauz. Â