Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menembus Garis Batas 17: Bertemu Lyuli di Siyob Bazaar

6 Oktober 2023   14:10 Diperbarui: 6 Oktober 2023   14:14 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis salat Jumat dan sejenak wisata di mausoleum Shah-I-Zinda, perjalanan di Samarkand dilanjutkan kembali dengan berjalan kaki ke Tashkentkaya Ulitsa untuk makan siang di Samarkand  Art House Restaurant.  Makan siang dengan menu Nasi Plov yang lezat sambil mendengarkan berbagai cerita dan kisa tambahan dari Daniyor.  Selain kisah tentang Bung Karno dan Makam Imam Bukhari, juga kisah-kisah tentang legenda Bibi Khanum dan Mausoleum Shah-I-Zinda yang sudah kami kunjungi sebelumnya.

Daniyor sedang bercerita: Dokpri
Daniyor sedang bercerita: Dokpri

Selesai makan siang, jelajah di Samarkan dilanjut dengan acara yang ditunggu-tunggu, acara bebas berbelanja di Siyob Bazaar yang letaknya tepat di sebelah Masjid Bibi Khanum.  Pasar tradisional yang menurut Mas Agus sudah ada sejak ratusan tahun lalu di kala Samarkand menjadi salah satu kota penting di Jalur Sutera. Di bazaar ini pula, penduduk lokal berbelanja dan tentu saja para wisatawan dapat membeli berbagai produk yang khas Samarkand dan Uzbekistan.

Pintu Gerbang: Dokpri
Pintu Gerbang: Dokpri

Pintu Gerbang Pasar Siyob ini sangat cantik walau sederhana. Terbagi menjadi tiga bagian dan di atasnya bertuliskan aksara Latin Dehqon Siyob Bozori yang menurut Mas Agus berarti Pasar Hasil Pertanian Siyob.  Wah jadi produk utamanya adalah hasil pertanian walau kemudian di dalamnya terdapat hampir semua produk termasuk suvenir Uzbekistan yang selalu menarik untuk dibeli dan dikoleksi.

Kami kemudian membagi rombongan dalam dua kelompok. Satu kelompok bersama Daniyor dan satu kelompok bersama Mas Agus. Maksudnya adalah agar lebih mudah dalam proses tawar menawar jika ingin berbelanja dan mendapatkan harga lebih baik.   Kalau capek atau mau istirahat dulu, juga bebas untuk pergi secara mandiri. Yang penting setelah sekitar satu setengah jam nanti berkumpul di dekat pintu masuk.

Buah kering: Dokpri
Buah kering: Dokpri

"Pedagang di pasar ini sangat ramah dan pengunjung bebas mencicipi makanan yang dijual serta boleh menawar harga. Tidak dibeli pun mereka tetap ramah dan tidak marah," Mas Agus memberikan sedikit petunjuk berbelanja.

Saya memulai kunjungan di Siyob Bazaar dengan memasuki kawasan dimana banyak dijual kacang-kacangan.  Dan tentu saja yang saya cari adalah kismis karena menurut Mas Agus kismis dari Samarkand sangat manis dan lezat.  Oh ya saya juga sempat menjajal kismis di sewaktu sarapan di hotel tadi pagi.   Setelah mencicipi dan menawar di beberapa tempat akhirnya saya membeli kilogram kismis dan kilogram manisan aprikot. Harganya masing-masing 50.000 Sum saja. Sebenarnya ingin membeli lebih banyak. Tetapi mengingat perjalanan saya masih panjang dan nanti masih harus ke Kazahstan, terpaksa menahan diri untuk tidak berbelanja terlalu banyak. 

Pedagang yang ramah: Dokpri
Pedagang yang ramah: Dokpri

Selain kismis dan manisan aprikot masih banyak kacang-kacangan dan buah kering yang dijajakan di sini. Salah satu yang juga terkenal sangat enak adalah pistachio. Saya sendiri juga sering mencicip pistachio selama di Uzbekistan.  

Di bagian lain pasar, letaknya agak tinggi terdapat bagian khusus yang menjual berbagai jenis roti. Nama bagian ini adalah "Non Maxsulatlari' yang artinya Produk Bakery. Di sini kitab isa melihat berbagai jenis roti Nan dalam berbagai ukuran dan juga rasa. Harganya pun termasuk murah karena roti memang merupakan makanan pokok di Uzbekistan yang wajib ada di meja makan. 

Bagian roti nan: Dokpri
Bagian roti nan: Dokpri

Di bagian lain juga ada gerai yang menjual barang kerajinan, seperti pakaian dan juga peci doppa khas Uzbek. Selain busana Perempuan Uzbek yang umumnya memiliki warna berani dan ngejreng, yang paling menarik adalah barang pecah belah berupa gelas,piring dan cangkir dari keramik dengan hiasan dan gambar yang sangat indah, seindah keramik yang ada di dinding masjid dan madrasah di Registan Square maupun mausoleum Shah-I-Zindah. Sebagian anggota kelompok kami ada yang berbelanja dan saya hanya ikut meramaikan dengan menanyakan harga atau menawar dalam Bahasa Rusia. Asyiknya jadi atau tidak jadi berbelanja, penjualnya tetap ramah dan penuh senyum kehangatan menyambut calon pembeli.

Roti nan: Dokpri
Roti nan: Dokpri

Bosan berkelompok, saya berjalan sendiri ke bagian belakang pasar. Di sini terdapat Hojatxona atau toilet umum dengan membayar 2000 Sum.  Di sini juga banyak toko dan gerai yang menjual bermacam produk.  Namun dalam perjalanan ke  toilet saya dihampiri oleh seorang Perempuan berusia sekitar 25 tahun dengan pakaian agak lusuh dan menggendong anak kecil berusia sekitar dua tahun.  

Dia menegur dalam bahasa yang kurang saya mengerti dan intinya memang meminta uang receh dengan nada yang memelas.  Ketika ditolak dengan halus, Perempuan ini teurs mengikuti dan terkesan sedikit memaksa agar mendapatkan uang. 

Di tempat lain, juga ada seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang sambil duduk di kursi tampak meminta-minta dengan menegur pengunjung pasar.  Karena dia hanya duduk, tentunya tidak bisa memaksa seperti Perempuan dengan anak kecil tersebut.

Membawa roti di Tashkentkaya Ulitsa: Dokpri
Membawa roti di Tashkentkaya Ulitsa: Dokpri

Menurut mas Agis mereka adalah orang-orang gypsy yang memang suka menjadi pengemis. Saya juga teringat bahwa dalam perjalanan tadi pagi dari hotel, sopir taksi Yandex sempat melewati kawasan pemukiman orang-orang gypsi ini.  Sopir taksi itu juga bercerita sudah lebih  30 tahun menjadi sopir taksi sejak zaman kemerdekaan Uzbekistan selepas runtuhnya SSSR. 

Orang gypsi ini sebenarnya adalah para pengembara atau nomad yang sebagian berprofesi sebagai pengemis. Konon mereka berasal dari India utara dan kemudian  menyebar ke beberapa negara Asia Tengah, Turki, dan Rusia.  Di Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah sendiri mereka disebut dengan Lyuli.  Masih menurut Mas Agus, di Pakistan dan Afghanistan juga banyak dijumpai para Lyuli ini.

Setelah sejenak berinteraksi dengan lyuli ,perempuan pengemis yang sedikit memaksa, saya kembali ke bangunan utama pasar yang berbentuk los dan kemudian membeli lagi buah yang dikeringkan dan kacang-kacangan yang sudah dibuat dalam paket khusus suvenir berbentuk bundar mirip pizza.   Harganya pun tidak mahal sekitar 20 000 Sum saja.  Ini cocok untuk dijadikan oleh-oleh buat sanak saudara di tanah air.

Tidak terasa sudah hampir 90 menit kami berada di Siyob Bazaar ini dan tibalah waktunya untuk kembali melanjutkan perjalanan.  

Rencana selanjutnya adalah kembali dahulu ke hotel untuk menaruh barang belanjaan dengan taksi dan baru kemudian kembali berkunjung ke tempat-tempat menarik di Samarkand.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun