Hari pertama di Almaty, walau masih sedikit lelah karena perjalanan lebih 17 jam dengan kereta api dari Tashkent, tetap dimanfaatkan dengan menjelajahi kota yang pada zaman Soviet disebut Alma Ata yang secara harfiah berarti 'Father of apple'. Tidak mengherankan karena di belakang guest house yang saya tinggali di kaki bukit ini pun banyak pohon apel yang sedang berbuah, bahkan banyak yang berjatuhan di pekarangan. Asyik juga kalau mau akan apel tinggal petik dan masih segar sekali.
Setelah sejenak beristirahat, siang hari, saya memulai perjalanan mengembara keliling kota. Kota Almaty terletak di sebelah Tenggara negeri Kazakhstan yang merupakan negara nomor sembilan terluas di dunia. Bahkan, daratannya jauh lebih luas daripada Indonesia sendiri. Kota ini juga mempunyai pemandangan yang indah karena di sebelah selatannya bertengger deretan Pegunungan Tianshan yang berbaris jauh ke timur, ke negeri Tiongkok.
Salah satu tujuan yang wajib dikunjungi di Almaty adalah masjid terbesar di kota ini, yang bernama Almaty Central Mosque atau dalam bahasa Kazhak disebut Almaty ortalyq meshiti. Dengan taksi online Yandex yang mirip Gojek atau Grab di Indonesia, saya menuju masjid yang beralamat di Jalan Pushkin. Nama "Pushkin" sendiri merupakan nama sastrawan Rusia yang tersohor sejak abad XIX dan banyak digunakan sebagai nama jalan di negera-negara yang pernah menjadi bagian Uni Soviet.
Dari jauh, empat menara masjid serta satu menara utama dan kubah besar yang berwarna kuning keemasan sudah menyambut, seakan-akan mengucpkan selamat datang di Almaty. Saya memulai kunjungan dengan berjalan santai mengeliling masjid yang diapit oleh empat buah jalan, yakni Pushkin, Manshuk Mametova, Nusubekov, dan Muhammedzhamov ini. Selain bangunan utama masjid, juga terdapat tempat wudu dan toilet serta bangunan pelengkap lainnya. Di salah satu sisi terdapat taman yang luas dengan air mancur yang indah serta kursi-kursi tempat bersantai sambil menikmati suasana senja di Almaty.
Di salah satu tepian jalan juga banyak terdapat pedagang kaki lima. Ada yang menjual minuman, makanan kecil, dan berbagai pernak-pernik ibadah. Ada juga toko resmi milik masjid yang menjual buku-buku agama dan perlengkapan ibadah. Sekilas suasananya mirip dengan masjid-masjid di berbagai kota besar di Tanah Air.
Saya kembali ke pintu utama masjid. DI dekatnya terdapat menara utama yang lumayan tinggi, bersusun dua dengan koridor berlantai dua yang menghubungkannya dengan bangunan utama masjid. Pintu gerbang utama masjid bentuknya sangat indah dengan pengaruh corak arsitektur Persia yang kental seperti yang terdapat di masjid dan madrasah yang sempat saya lihat di Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah pada umumnya.
Di dekat pintu terdapat sebuah prasasti dalam bahasa Kazakh, Rusia, dan Arab yang menjelaskan sekilas sejarah masjid ini. Masjid yang sekarang ini diresmikan pada 1999 setelah mulai dibangun pada awal dekade 1990-an di lokasi yang sama dengan masjid tua Tatar yang dibangun pada abad XIX. Masjid tua ini terbakar pada 1987.
Saya kemudian masuk ke ruang utama masjid dan terkagum-kagum dengan keindahan interiornya. Hamparan karpet berwarna hijau dengan garis pembatas saf berwarna cokelat membentang empuk. Bagian bawah kubah utama karpetnya berhiaskan pola bunga-bunga yang indah. Di kiri-kanan terdapat lantai dua masjid dengan balkon berhiaskan relung-relung. Sementara itu, mihrabnya tampak megah berdinding keramik dengan nuansa warna biru yang khas dengan ornamen bunga dan hiasan kaligrafi. Mimbarnya terbuat dari kayu warna kecokelatan dengan ukiran dan tangga berhiaskan karpet hijau. Sebuah lampu kristal besar tergantung di bawah kubah.
Selesai solat Ashar, saya kembali berjalan berkeliling. Di salah satu sudut terdapat sebuah tenda tradisional Asia Tengah yang disebut yurt berwarna putih. Karena penasaran, saya masuk ke tenda dan mengucapkan salam kepada beberapa pemuda yang ada di dalam tenda. Setelah sempat berbincang-bincang dalam bahasa Rusia, ternyata di dalam tenda ini dijual berbagai minuman tradisional Kazhak, salah satunya adalah kumis yang merupakan susu kuda. Negeri ini memang terkenal dengan kuda dan konon jumlah kuda lebih banyak dibandingkan jumlah manusianya.
Akhirnya saya pun disuguhi semangkuk kumis yang dingin menggoda. Saya sempat minum beberapa teguk untuk mencicipi. Rasanya asam-asam segar. Mula-mula terasa aneh, tetapi setelah beberapa teguk terasa segar dan mulai nyaman di lidah dan tenggorokan. Tidak terasa semangkuk kumis pun sudah berpindah ke perut.
Setelah melanjutkan sedikit bincang-bincang, saya mengucapkan banyak terima kasih serta selamat tinggal alias Da Svidaniya kepada beberapa pemuda itu. Saya melanjutkan kunjungan dengan duduk-duduk di taman air mancur sambil memperhatikan anak-anak yang sedang bermain dan keluarga yang bersantai. Banyak juga gadis-gadis berhijab dan lelaki berjanggut lebat sedang duduk. Sebagian sedang membaca Al-Quran.
Tidak terasa azan Magrib menggema. Saya kemudian bergabung dengan ratusan jemaah yang dengan khusyuk sholat di dalam masjid terbesar di Kota Almaty ini.
Hari pertama di Kazakhstan yang berkesan. Mencicipi susu kuda di halaman masjid di dalam tenda tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H