Bulan Mei adalah bulan yang indah. Dan tidak mengherankan bila banyak anak perempuan yang lahir di bulan ini pun mempunyai nama yang indah seperti Meilani, atau bahkan Mei-Mei. Â Tetapi bulan ini pun kadang memiliki aura yang negatif dan hingga saat ini belum dapat dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa ini.
Kalau kita naik TransJakarta dan melewati kawasan Grogol, ada sebuah halte yang dinamakan Halte 12 Mei-Reformasi. Â Nama halte ini mulai dipakai sejak 2013 lalu menggantikan nama lama Grogol2. Â Bagi pembaca yang berusia di bawah 30 tahun, terkadang tidak mengetahui dan tidak mengalami sendiri salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia kontemporer yang masih ada dalam relung-relung memori, yaitu peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Tahun 1998, adalah tahun yang ditandai dengan perubahan besar di negeri ini. Terjadi pergantian kekuasaan yang juga sekaligus mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang sudah hadir sejak 1966. Â Masa Orde Baru sendiri, buat sebagian orang merupakan salah satu masa keemasan Indonesia. Suatu masa yang ditandai dengan kestabilan politik dan kemajuan ekonomi yang lumayan pesat. Suatu masa ketika Indonesia siap-siap lepas landas untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Orde Baru yang berkuasa sejak 1966 mewarisi Indonesia yang porak poranda secara ekonomi dan politik. Secara perlahan Indonesia bisa bangkit dari kutersurukan dan dengan optimis menatap masa depan yang lebih baik.  Bahkan pada saat HUT Kemerdekaan ke 50 RI, tahun 1995, saat itu Indonesia seakan-akan sedang siap-siap untuk menjadi negara yang lebih maju dan kuat baik secara ekonomi dan teknologi.  Kita bahkan sudah mampu  membuat pesawat terbang sendiri dan memasarkannya ke mancanegara.
Tetapi apa yang dibangun selama tiga puluh tahun, tiba-tiba saja hancur pada 1998. Â Sudah banyak yang mengulas penyebabnya. Salah satunya adalah fundamental ekonomi yang rapuh. Dan juga Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang marak pada masa itu. Â Dan bulan Mei 1998 menjadi saksi, bahwa bisul yang sudah matang memang tidak dapat dikendalikan akan pecah, sekaligus juga siap-siap memakan korban sebagian golongan masyarakat yang selalu dijadikan kambing hitam sejarah.
Peristiwa kerusuhan sebenarnya sudah terjadi lebih dahulu di Medan pada 4-8 Mei, namun sepertinya sudah jarang diingat oleh masyarakat Indonesia umumnya karena skalanya memang jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi di Jakarta pada minggu-minggu berikutnya.
Tanggal 12 Mei, seperti yang dikisahkan pada Halte 12 Mei Reformasi di Grogol, adalah salah satu tonggak yang dianggap menjadi pemicu kerusuhan Mei. Peristiwa Trisakti. Yang kemudian dilanjut dengan peristiwa yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi siapakah aktor intelektual di belakangnya. Yaitu kerusuhan 13, 14, dan 15 Mei di Jakarta dan juga beberapa kota besar lain di Indonesia. Â Kota Solo yang biasanya terkenal dengan penduduknya yang ramah dan adem ayem pun bahkan menjadi salah satu kawasan yang tidak kalah parah dalam kerusuhan tersebut.
Tidak usah kita ceritakan lagi apa yang terjadi. Semua sudah maklum, pembakaran dan perusakan toko-toko dan pusat perbelanjaan serta sebagian pemukiman marak di seantero Jakarta dan sekitarnya. Â Kawasan Glodok dan pusat perbelanjaan di sekitarnya hangus luluh lantak. Â Dan yang paling mengerikan adalah Mal Yogya di Klender serta kawasan Lippo Karawaci yang konon terbakar atau sengaja dibakar berikut dengan ratusan orang-orang di dalamnya yang konon terkunci. Â Uniknya yang menjadi korban di Mal Klender dan Karawaci itu, mayoritas bukan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran selama peristiwa kerusuhan Mei ini.
Salah satu dampak atau bahkan juga penyebab peristiwa yang menyebabkan runtuhnya orde baru ini adalah runtuhnya ekonomi Indonesia bersamaan dengan krisis keuangan yang melanda Asia Tenggara. Jatuhnya nilai tukar Rupiah mengikuti beberapa mata uang negara tetangga seperti Baht Thailand dan Ringgit Malaysia memang yang paling para sehingga rupiah bagaikan terjun bebas dari sekitar 2500 per USD pada 1997 menjadi lebih rendah dari 16.000 pada 1998 setelah kerusuhan. Â Rupiah tidak pernah pulih dan kemudian mencapai keseimbangan baru dengan nilai tukar sekitar 8.000 atau 9.000 pada 1999.Â
Krisis demi krisis terus terjadi misalnya saja dengan runtuhnya banyak bank sehingga kita harus antre untuk mengambil uang yang kemudian diikuti dengan BLBI dan skandalnya yang hingga sekarang masih terus menjadi kontroversi.