Hari menjelang siang ketika kereta saya berhenti di stasiun Angke. Â Ini adalah pertama kali saya turun di sini dan saya sangat menikmati suasana jalan di depan stasiun. Â Si sini berjejer pedagang yang menjual bermacam-macam keperluan sehari-hari.Â
Ada sayuran dan buah-buahan serta juga jajanan dan pakaian. Â Atmosfer sebuah pasar tradisional dengan latar belakang Jakarta Tempo dulu yang sudah mulai hilang di bagian lain kota Jakarta.Â
Sementara di kios-kios yang menempel di stasiun, sebagian besar menjual minyak wangi.
Saya sempatkan mampir dan membeli kue pancong di salah satu pedagang dan kemudian bersantai sejenak menikmati kue tersebut.Â
Sudah cukup lama tidak makan kue tradisional yang sudah agak jarang ditemukan di tempat lain. Â Satu porsi harganya 10 ribu dan terdiri dari empat potong. Lumayan untuk mengganjal perut yang belum diisi sejak semalam.
Perjalanan kemudian dilanjut sampai di pertigaan jalan Tubagus Angke. Ada sebuah jembatan layang di depan dan saya belok kanan menyusuri  kaki lima yang lumayan baik walau tidak lebar.Â
Kira-kira dua ratus meter berjalan, saya menemukan sebuah kelenteng kecil yang bernama Vihara Dharma Paramita. Â Warna merah mendominasi tampak muka dan pagar kelenteng ini.
Kemudian  saya menyeberang jalan dan belok kiri di sebuah jembatan kecil  di atas Kali Angke.  Aroma yang khas tiba-tiba datang menyengat. Terasa familier walau mula-mula tidak disangka-sangka.Â