RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah cukup lama ada  dan digodok di DPR namun hingga saat ini belum juga disahkan menjadi Undang-undang. Banyak pihak menyatakan kepastian hukum yang ada di dalam undang-undang itu sebagai suatu hadiah manis bagi para pekerja rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai pekerja informal.
Walaupun begitu, RUU ini memang masih banyak mengandung kontroversi untuk negeri dengan tingkat kemajuan perekonomian sekelas Indonesia. Â Untuk suatu negara yang sudah maju ekonominya, UU PPRT memang suatu kewajiban, bahkan adanya undang-undang ini menjadi syarat mutlak kemajuan suatu bangsa. Dan bila tiba saatnya biasanya di negeri tersebut sudah tidak ada lagi penduduk yang mau bekerja menjadi PRT, Â Biasanya mereka akan mengambil tenaga kerja asing sebagai PRT.
Untuk itu, mari kita sekedar berbagi pengalaman dan cerita serta opini mengenai profesi yang menarik ini. Â Profesi yang sebenarnya memiliki banyak dimensi baik kemanusiaan, hubungan antar manusia, serta faktor sosial, sejarah, dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Secara tradisional profesi ini sudah ada sejak lama dan turun temurun di negeri ini. Dulu banyak keluarga yang memiliki PRT dengan bermacam-macam sebutan, mula-mula disebut pembantu, kemudian mendapat nama lebih keren sebagai asisten rumah tangga. Bahkan pada era kolonial ada sebutan babu, jongos atau bedinde. Tetapi pada esensinya, tugas dan pekerjaannya memang sama. Yaitu membantu di rumah untuk semua pekerjaan rumah tangga.Â
Hubungan antara PRT dan majikan memang memiliki banyak dimensi yang sangat berbeda dengan hubungan kerja formal di kantor atau pabrik yang terikat dengan banyak aturan undang-undang. Selama ini, PRT biasanya bekerja atas aturan konvensi tidak tertulis. Tidak ada aturan baku antara hak dan kewajiban dan nasib PRT bisa dibilang tergantung kebaikan majikan. Â Namun nasib majikan juga tergantung kebaikan PRTnya.
Secara singkat bila PRT mendapatkan keluarga majikan yang baik, maka bisa bekerja hingga lama bahkan puluhan tahun, sehingga banyak yang dianggap sebagai keluarga sendiri. Â Mereka bisa menabung penghasilan mereka dan membeli rumah atau sawah di kampung. Â Mengapa demikian? Â Penghasilan PRT walau secara nominal tidak besar tetapi sesungguhnya merupakan disposable income yang benar-benar bisa ditabung dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan mereka. Â Ini sangat berbeda dengan bekerja sebagai buruh atau pekerja formal kantoran yang memiliki penghasilan Upah Minimum, misalnya. Suatu upah yang kemudian sebagian besar habis untuk biaya tempat tinggal, makan, dan transportasi. Sementara bagi PRT yang tinggal bersama di rumah induk semang, semua biaya tersebut sama sekali tidak ada.
Nah bila PRT mendapatkan tempat tinggal yang layak, makanan yang layak dan bahkan sama dengan yang dimakan keluarga tempat dia bekerja, diperlakukan secara manusiawi, dan mendapat kepercayaan selama bekerja dan bahkan diperlakukan sebagai keluarga, maka PRT tersebut termasuk yang bernasib baik.
Tetapi bisa saja sebaliknya, dimana tanpa adanya perlindungan hukum yang jelas, PRT bisa diperlakukan semena-mena, mendapat gaji yang tidak sesuai kesepakatan, perlakuan yang tidak manusiawi, jam kerja dan tugas yang berlebihan, atau bahkan sampai ke pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan secara fisik. Â Ini yang menjadi sisi buruk sistem ikatan kerja non formal yang eksis hingga sekarang.
Namun, profesi PRT pun sebenarnya mengikuti tingkat perekonomian suatau negara dan hukum supply and demand yang ada di dalam ilmu ekonomi. Â Pada masa ketika ekonomi Indonesia masih belum terlalu berkembang, masih sangat banyak sumber daya PRT di kampung-kampung dimana tingkat kesejahteraan belum terlalu baik. Mereka akhirnya bekerja ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Â Namun ketika tingkat pendidikan menjadi lebih baik dan pilihan lapangan pekerjaan menjadi lebih beragam, maka tenaga kerja tadi lebih banyak yang memilih menjadi pekerja atau buruh di pabrik atau pilihan profesi yang lain.
Selain itu, ketika tawaran pekerjaan serupa di luar negeri lebih memikat, maka sumber daya PRT itu lebih banyak yang memilih bekerja di Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, Malaysia, atau pun negara lain yang menjanjikan penghasilan jauh lebih baik. Akibatnya bargaining power PRT di tanah air pun makin meningkat. Â Karena itu keluarga di tanah air yang bisa mempekerjakan PRT pun makin berkurang.