"Museum Sumpah Pemuda itu dulu milik kakek saya", Â kata -kata ini masih terngiang di telinga saya karena pernah diucapkan oleh dokter Yanti Silman sekitar beberapa belas tahun lalu.
Perkenalan saya dengan dokter Yanti Silman memang sudah lama sekali. Pertama kali saya berkunjung ke tempat praktiknya di Jalan Senen Raya No 40 adalah pada tahun 1986 untuk melakukan Medical check up dalam rangka memenuhi persyaratan masuk sebagai karyawan di perusahaan dimana dokter Yanti menjabat sebagai dokter perusahaan .
Uniknya walau setelah saya mengundurkan diri dari perusahaan tersebut, saya masih sekali-kali berobat kesana sebagai pasien biasa dan menyambung tali silaturahim saja.
Baca juga:Â Go Tik Swan Sastrawan Keturunan Tionghoa Pelopor Batik
Rumah Tua yang menjadi tempat praktik itu sangat sederhana namun  tetap antik. Ubinnya yang khas peninggalan zaman Belanda masih asli. Dan pasien selalu membludak ramai karena memang tempat praktik ini dijadikan tempat praktik bersama keluarga Silman.
Ternyata selain dokter Yanti Silman sendiri, ayahnya , dokter Yanuar Siman juga seorang dokter lulusan Stovia . Â
"Kalau kita lihat di internet kebanyakan nama kakek saya salah karena ditulis Sie Kong  Liong atau Sie Kong  Liang", demikian ucapan dokter Yanti membuka wawancara virtual Ini.
Ternyata nama yang benar adalah Sie Kong Lian dan beliau berprofesi sebagai pedagang yang memiliki toko di jalan Senen Raya yang Segitiga Senen.  Rumah tinggalnya sendiri di Jalan Senen Raya 40 yang sekarang diwarisi oleh dokter  Yanti.
Rumah di Keramat 106 yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda itu konon dibeli oleh kakek dokter Yanti pada 1908 dan akhirnya digunakan sebagai tempat kos.
Baca juga:Â Sepenggal Peninggalan Sejarah Kejayaan Imigran Tionghoa di Tjong A Fie Mansion, Medan