Perjalanan kami bersama Sahabat Museum terus berlanjut. Setelah mampir ke Prasasti Kebon Kopi 1, Prasasti Ciaruteun, dan Situs Batu Dakon, maka Prasasti Pasir Muara merupakan tempat terakhir yang dikunjung dalam jalan-jalan ke kawasan Ciampea sejak pagi hingga sore ini.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sungai Cianteun dan disini sempat berjumpa dengan sebuah gerai yang menawarkan arung jeram yang bernama "Cianteun Rafting" dengan motto 'Mild to Wild Adventure'. Masih beberapa ratus meter kami terus berjalan santai dan terus menurun menuju ke tepian sungai. Akhirnya sampai juga pada sebuah papan nama yang tulisannya sudah agak susah dibaca. Mungkin tergerus zaman dan cuaca. Isinya hanya nama prasasti dan ancaman bagi yang merusak sesuai dengan undang-undang. Namun, di mana yah prasatinya?
"Itu dia prasastinya di pinggir sungai," tukas Pak Dwi Cahyono, arkeolog yang sudah menemani rombongan Sahabat Museum sejak pagi dengan cerita-ceritanya yang membuat kami tetap bersemangat napak tilas kejayaan Kerajaan Tarumanegara di kawasan Ciampea ini. Wah ada di bawah yah!
Untuk menuju prasasti, ada belasan anak tangga yang cukup curam. Dengan perlahan saya dan teman-teman turun dan menuju ke prasasti, mengelilingi Pak Dwi yang duduk di atas prasasti dan mulai bercerita. Pak Dwi mengambil air sungai dengan tangannya dan mulai membasahi permukaan batu.
"Inskripsinya akan lebih mudah diihat bila dibasahi air," tambahnya lagi. Berbeda dengan prasasti Kebon Kopi 1 dan Prasasti Ciaruteun. Di sini tidak ada huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Yang ada hanyalah inskripsi berupa gambar melingkar. Dan di bagian bawah batu prasasti ini terdapat beberapa batang dupa yang asapnya masih mengepul. Wah siapa nih yang pasang dupa?
Pak Dwi mulai bercerita. Menurutnya masih ada beberapa pendapat tentang gambar melingkar yang disebut sebagai aksara ikal ini. Sebagian ahli berpendapat bahwa ini merupakan proto aksara yang digunakan oleh orang lokal sebelum masuknya pengaruh Hindhu. "Mungkin kalau Aksara Pallawa dan Bahasa Sansekerta digunakan oleh kaum terpelajar, bangsawan, dan rohaniawan, maka aksara ikal berupa gambar dan piktogram ini digunakan oleh orang awam," demikian tambah Pak Dwi sambil sesekali tersenyum ramah. Baju kotak-kotak yang dipakainya mengingatkan zaman kampanye Ahok. he he.
Lokasi prasasti ini terletak di tempuran atau pertemuan Sungai Cianten, Ciaruteun dan Sungai Cisadane. Lokasi seperti ini memang dipandang agak sakral dan keramat menurut kepercayaan rakyat setempat. Sayangnya batu prasasti ini dibiarkan begitu saja di bawah anas terik matahari dan juga terpaan air sungai. "Sewaktu banjir, air bisa menutupi sampai ke papan nama," tambah bapak penjaga prasasti yang juga menemani naak tilas kami sejak pagi.
Sebelum kembali ke kendaraan, rombongan sempat berfoto beramai-ramain di tepian sungai. Sebuah perjalanan napak tilas Kerajaan Tarumanegara yang membuka hati dan mata akan kekayaan peninggalan budaya dan sejarah yang harus dijaga dan diwariskan ke genarasi berikutnya.
Ciampea, 6 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya